Jumat, 21 Februari 2014

Makalah Pendidikan seksual pada Anak (Share)



BAB I
PENDAHULUAN
I.I    Latar Belakang
Di Indonesia, ternyata banyak orang yang tidak ingin benar-benar membicarakan seks. “Tetapi ketika mereka muda dan tumbuh dan masalah ini muncul pada keluarga mereka, semua orang menjadi tegang.” Apa yang harus dikatakan dan kapan
Sex education/pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas yaitu suatu pendidikan mengenai seksualitas dalam arti luas. Seksualitas meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks, yaitu aspek biologik, orientasi, nilai sosiokultur dan moral, serta perilaku.
Sesuai dengan kelompok usia berdasarkan perkembangan hidup manusia, maka pendidikan sex dapat dibagi menjadi pendidikan seks untuk anak prasekolah dan sekolah, pendidikan seks untuk remaja, untuk dewasa pranikah serta menikah.
Sex education untuk anak-anak bertujuan agar anak mengerti identitas dirinya dan terlindung dari masalah seksual yang dapat berakibat buruk bagi anak. Pendidikan seks untuk anak pra sekolah lebih bersifat pemberian informasi berdasarkan komunikasi yang benar antara orangtua dan anak.
Sex education untuk remaja bertujuan melindungi remaja dari berbagai akibat buruk karena persepsi dan perilaku seksual yang keliru. Sementara pendidikan sex untuk dewasa bertujuan agar dapat membina kehidupan sexual yang harmonis sebagai pasangan suami istri.
Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga.
Ketika kita mendengar kata seks apa yang terpikir di benak kita? Pornografi, vulgar, menjijikkan dll. Memang sebagian besar masyarakat menganggap membicarakan seks itu adalah sesuatu hal yang tabu dan tak layak dibicarakan. Ketika anak kita bertanya soal seksualitasnya pasti kita dengan cepat akan mengalihkannya dan akan mengatakan “Hus…ga baik ngomong gitu, masih kecil nanti kalo sudah besar kan tau sendiri”. Sikap seperti itulah yang salah, karena anak memiliki rasa ingin tahu tentang banyak hal, bila kita sebagai orang tua tidak bisa mengarahkan dengan baik, tidak bisa memberikan informasi yang jelas cenderung mereka akan mencari informasi dari orang lain dan teman-temannya, informasi tersebut belum tentulah informasi yang baik.
Sedikit sekali masyarakat terutama orang tua yang peduli akan pendi­dikan seks dan menempatkan bah­wa seks adalah sesuatu yang penting. Bahkan banyak orang tua yang tidak memberikan pendidik­an seks pada anak, dengan alasan anak akan tabu dengan sendirinya. Selama ini seks identik dengan orang dewasa saja. "Pendidikan seks tidak selalu mengenai hubungan pasangan suami istri, tapi juga mencakup hal-hal lain seperti pemberian pemahaman tentang perkembangan fisik dan hormonal seorang anak serta memahami berbagai batasan sosial yang ada di masyarakat," ujar Dra Dini Oktaufik dari yayasan ISADD (Intervention Service for Autism and Developmental Delay).
Membahas masalah seks pada anak memang tidak mudah. Namun, mengajarkan pendidikan seks pada anak harus diberikan agar anak tidak salah melangkah dalam hidupnya. Pendidikan seks wajib diberikan orangtua pada anaknya sedini mungkin. Tepatnya dimulai saat anak usia 3-4 tahun, karena pada usia ini anak sudah bisa melakukan komunikasi dua arah dan dapat mengerti mengenai organ tubuh mereka dan dapat pula dilanjutkan pengenalan organ tubuh internal.








BAB II
KONSEP TEORI
II.I  Pengertian Pendidikan Seks
Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan pemberian informasi tentang masalah seksual. Informasi yang diberikan di antaranya pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika, komitmen, agama agar tidak terjadi "penyalahgunaan" organ reproduksi ter­sebut. Itu sebabnya, pendidikan seks dapat dikatakan sebagai cikal bakal pendidikan kehidupan berkeluarga yang memiliki makna sangat penting. Para ahli psikologi menganjurkan agar anak-anak sejak dini hendaknya mulai dikenalkan dengan pendidikan seks yang sesuai dengan tahap perkembangan kedewasaan mereka.
Pendidikan seks didefinisikan sebagai pendidikan mengenai anatomi organ tubuh yang dapat dilanjutkan pada reproduksi seksualnya dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama, dan adat istiadat, serta kesiapan mental dan material seseorang. Sementara dr. Warih A Puspitosari, M.Sc, Sp.K.J.  menjelaskan bahwa “Pendidikan seks usia dini bukan berarti mengajarkan bagaimana cara melakukan seks. Namun pendidikan seks pada usia dini menjelaskan tentang organ-organ yang dimiliki manusia dan apa fungsinya”.
II.II   Tujuan Pendidikan Seks Pada Anak
Tujuan pendidikan seks sesuai usia perkembangan pun berbeda-beda. Seperti pada usia balita, tujuannya adalah untuk memperkenalkan organ seks yang dimiliki, seperti menjelaskan anggota tubuh lainnya, termasuk menjelas­kan fungsi serta cara melindunginya. Jika tidak dilakukan lebih awal maka ada kemungkinan anak akan mendapatkan banyak masalah seperti memiliki kebiasaan suka memegang alat kemaluan sebelum tidur, suka memegang payudara orang lain atau masalah lainnya.
Untuk usia sekolah mulai 6-10 tahun bertujuan memahami perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perernpuan), menginformasikan asal-usul manusia, membersihkan alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman dan penyakit.
Sedangkan usia menjelang re­maja, pendidikan seks bertujuan untuk menerangkan masa pubertas dan karakteristiknya,serta menerima perubahan dari bentuk tubuh. Pendidikan seks berguna untuk mem­beri penjelasan mengenai perilaku seks yang merugikan (seperti seks bebas), menanamkan moral dan prinsip "say no" untuk seks pranikah serta membangun penerimaan terhadap diri sendiri. Bahkan, pendidikan seks juga penting diberikan pada anak di usia pranikah untuk pembekalan pada pasangan yang ingin menikah tentang hubungan seks yang sehat dan tepat.
Cara memberikan penjelasan pendidikan seks kepada anak sesuai dengan umur mereka :
a)      Balita 1-5 tahun
Pada usia ini, Anda bisa mulai menanamkan pendidikan seks. Caranya cukup mudah, yaitu dengan mulai memperkenalkan kepada si kecil organ-organ seks miliknya secara singkat. Tidak perlu memberi penjelasan detail karena rentang waktu atensi anak biasanya pendek. Misalnya saat memandikan si kecil, Anda bisa memberitahu berbagai organ tubuh anak, seperti rambut, kepala, tangan, kaki, perut, dan jangan lupa penis dan vagina atau vulva. Lalu terangkan perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya, misalnya jika si kecil memiliki adik yang berlawanan jenis. Selain itu, tandaskan juga bahwa alat kelamin tersebut tidak boleh dipertontonkan dengan sembarangan, dan terangkan juga jika ada yang menyentuhnya tanpa diketahui orang tua, maka si kecil harus berteriak keras-keras dan melapor kepada orang tuanya. Dengan demikian, anak-anak Anda bisa dilindungi terhadap maraknya kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual terhadap anak.

b)     Umur 3-5 tahun
Pada rentang umur ini, mengajarkan mengenai organ tubuh dan fungsi masing-masing organ tubuh, jangan ragu juga untuk memperkenalkan alat kelamin si kecil. Saat yang paling tepat untuk mengajarkannya adalah di saat Anda sedang memandikannya. Diharapkan untuk hindari penyebutan yang dianggap tidak sopan di masyarakat untuk menyebut alat kelamin yang dimilikinya. Misalkan seperti vagina atau penis, jangan diistilahkan dengan kata lain seperti “apem” atau “burung”. Anda tidak perlu membahas terlalu detail mengenai jenis kelamin anak Anda atau mengajarkannya dalam kondisi belajar yang serius.
Pertanyaan yang sering dilontarkan anak pada usia ini , seperti “mama, kita lahir dari mana?”, Anda juga bisa memberikan penjelasan mengenai darimana bayi berasal dengan menggunakan sebuah cerita agar si buah hati bisa lebih memahami dan tertarik untuk mendengarkannya. Di usia ini juga, seorang anak sudah bisa diajarkan apa itu perempuan dan laki-laki. Jadi bila Anda memiliki dua anak yang berlawanan jenis, akan lebih mudah untuk Anda menjelaskan perbedaan penis dan vagina kepadanya.
Ajarkan juga kepada anak bahwa seluruh tubuhnya, termasuk alat kelaminnya, adalah milik pribadinya yang harus dijaga baik-baik. Dengan demikian, anak harus diajarkan untuk tidak menunjukkan kelaminnya secara sembarangan. Tekankan kepada mereka bahwa mereka memiliki hak dan bisa saja menolak pelukan atau ciuman dan segala macam bentuk kasih sayang yang dinyatakan melalui sentuhan fisik. Hal ini menjadi penting, karena disukai atau tidak, banyak pelaku pelecehan seksual adalah orang-orang yang dekat dengan kehidupan si anak. Orang tua juga diharapkan untuk tidak memaksa seorang anak untuk memeluk atau mencium orang lain jika dia tidak menginginkannya agar si anak bisa belajar untuk menyatakan penolakannya.
c)      Umur 6 - 9 tahun
Anak-anak sering sekali menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual dari orang dewasa karena ketidakberdayaan dan ketidaktahuan yang bisa dimanfaatkan dengan mudah oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Masalah utama dalam kasus pencabulan anak adalah anak kecil tidak sadar bahwa dirinya telah mengalami pencabulan, baik karena keluguan si anak atau karena pelaku berdalih bahwa hal yang dilakukan adalah tanda “kasih sayang”.
Di rentang umur ini, si kecil diajarkan mengenai apa saja yang harus dilakukan untuk melindungi dirinya sendiri. Orang tua bisa mengajarkan anak menolak untuk membuka pakaian bahkan jika ada imbalan sekalipun atau menolak diraba alat kelaminnya oleh temannya. Anak Anda harus diajarkan untuk berteriak sekencang mungkin meminta pertolongan dan melapor ke orang tua jika orang dewasa yang berada di sekitar mereka mengancam untuk memberikan hukuman atau mengintimidasi mereka di saat mereka menolak untuk melakukan hal-hal yang menurut anak tidak nyaman untuk dilakukan.
Selain itu, di rentang umur ini, Anda bisa menggunakan hewan tertentu yang tumbuh dengan cepat dan terlihat jelas perbedaan jenis kelaminnya (seperti: anak ayam) di saat bertumbuh dewasa untuk mengajarkan mengenai perkembangan alat reproduksi. Ajaklah anak anda untuk turut mengamati perkembangannya. Jika mereka tidak terlalu memperhatikan hingga detail terkecil, Anda bisa berikan informasi lebih lanjut nanti sembari menekankan bahwa alat kelamin mereka juga akan berubah seiring mereka bertumbuh dewasa nanti.
Orang tua harus memperhatikan suasana hati anak agar saat menyampaikan materi seksualitas, si anak tidak merasa terpojokkan, malu, bodoh, ataupun menjadi terlalu liar dalam menyikapi seks.
d)     Umur 9 - 12 tahun   
            Berikan informasi lebih mendetail apa saja yang akan berubah dari tubuh si anak saat menjelang masa puber yang cenderung untuk berbeda-beda di setiap individu. Ajarkan kepada anak bagaimana menyikapi menstruasi ataupun mimpi basah yang akan mereka alami nanti sebagai bagian normal dari tahap perkembangan individu. Pada umur 10 tahun, sebelum menjelang masa puber, Anda sudah bisa memulai topik mengenai kesehatan alat kelamin. Pastikan juga pada anak Anda, jika dia mengikuti semua peraturan kesehatan ini, maka mereka tak perlu banyak khawatir.
e)      Umur 12 - 14 tahun
Data yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 51 persen remaja di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi telah berhubungan seksual sebelum menikah. Penulis memang tidak mendapatkan angka pasti untuk data di tahun 2012, tetapi dengan adanya berita di berbagai media massa yang menyatakan adanya peningkatan dalam tingkat aktivitas seksual remaja, maka tentunya harus ada pendidikan yang memadai untuk menanggulangi hal ini.
Dorongan seksual di masa puber memang sangat meningkat, oleh karena itu, orang tua sebaiknya mengajarkan apa itu sistem reproduksi dan bagaimana caranya bekerja. Penekanan terhadap perbedaan antara kematangan fisik dan emosional untuk hubungan seksual juga sangat penting untuk diajarkan. Beritahukan kepada anak segala macam konsekuensi yang ada dari segi biologis, psikologis, dan sosial jika mereka melakukan hubungan seksual. Orang tua selain mengajarkan keterbukaan komunikasi dengan anak terutama dalam membicarakan seksualitas, juga perlu menambahkan keuntungan menghindari aktivitas seksual terlalu dini sebelum mencapai masa dewasa.
Hindari penggunaan kata-kata yang menghakimi remaja agar ia tidak merasa ragu, takut, enggan ataupun marah saat membicarakan pengalaman seksual mereka. Jika orang tua merasa agak berat untuk membicarakan topik-topik seksual dengan anak, orang tua bisa meminta bantuan psikolog atau konselor untuk  memberikan pendidikan seksual kepada anak dan  membantu orang tua merasa nyaman membicarakan topik ini.
f)       Usia Menjelang Remaja
Saat anak semakin berkembang, mulai saatnya Anda menerangkan mengenai haid, mimpi basah, dan juga perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada seorang remaja. Anda bisa terangkan bahwa si gadis kecil akan mengalami perubahan bentuk payudara, atau terangkan akan adanya tumbuh bulu-bulu di sekitar alat kelaminnya.
g)      Usia Remaja
Pada saat ini, seorang remaja akan mengalami banyak perubahan secara seksual. Anda perlu lebih intensif menanamkan nilai moral yang baik kepadanya. Berikan penjelasan mengenai kerugian seks bebas seperti penyakit yang ditularkan dan akibat-akibat secara emosi.
Diharapkan, pendidikan seks sejak dini akan menghindari kehamilan di luar pernikahan saat anak-anak bertumbuh menjadi remaja dan saat dewasa kelak. Tidak perlu tabu membicarakan seks dalam keluarga. Karena anak Anda perlu mendapatkan informasi yang tepat dari orang tuanya, bukan dari orang lain tentang seks.
Karena rasa ingin tahu yang besar, jika anak tidak dibekali pendidikan seks, maka anak tersebut akan mencari jawaban dari orang lain, dan akan lebih menakutkan jika informasi seks didapatkan dari teman sebaya atau Internet yang informasinya bisa jadi salah. Karena itu, lindungi anak-anak Anda sejak dini dengan membekali mereka pendidikan mengenai seks dengan cara yang tepat.
Menurut Zulia Ilmawati, psikolog, pemerhati masalah anak dan remaja di antara pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak adalah sebagai berikut :
1.      Menanamkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya. Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana Muslimah menutup aurat juga penting untuk menanamkan rasa malu sekaligus mengajari anak tentang auratnya.
2.      Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang berbeda yang kelak akan diperankannya. Mengingat perbedaan tersebut, Islam telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki
3.      kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Mereka juga harus diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. (HR al-Bukhari).
4.      Memisahkan tempat tidur mereka. Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orangtuanya, setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orangtuanya. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.
5.      Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu). Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah: sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 13). Jika pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan-santun dan etika yang luhur.
6.      Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin. Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara ini akan terbentuk pada diri anak sikap hati-hati, mandiri, mencintai kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin, dan sikap moral yang memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat.
7.      Mengenalkan mahram-nya. Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan telah ditentukan oleh syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati. Dengan memahami kedudukan perempuan yang menjadi mahram, diupayakan agar anak mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang bukan mahram-nya. Inilah salah satu bagian terpenting dikenalkannya kedudukan orang-orang yang haram dinikahi dalam pendidikan seks anak. Dengan demikian dapat diketahui dengan tegas bahwa Islam mengharamkan incest, yaitu pernikahan yang dilakukan antar saudara kandung atau mahram-nya. Siapa saja mahram tersebut, Allah Swt telah menjelaskannya dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 22-23.
8.      Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata. Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun, jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang mengandung unsur pornografi. Karena itu, jauhkan anak-anak dari gambar, film, atau bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.
9.      Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilât. Ikhtilât adalah bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa adanya keperluan yang diboleh-kan oleh syariat Islam. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Mereka bebas mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan; seolah tidak ada lagi batas yang ditentukan syariah guna mengatur interaksi di antara mereka. Ikhtilât dilarang karena interaksi semacam ini bisa menjadi mengantarkan pada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Karena itu, jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.
10.  Mendidik anak agar tidak melakukan khalwat. Dinamakan khalwat jika seorang laki-laki dan wanita bukan mahram-nya berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Biasanya mereka memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebagaimana ikhtilât, khalwat pun merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajari untuk menghindari perbuatan semacam ini. jika bermain, bermainlah dengan sesama jenis. Jika dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak ber-khalwat.
11.  Mendidik etika berhias. Berhias, jika tidak diatur secara islami, akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan seks dalam kaitannya dengan etika berhias adalah agar berhias tidak untuk perbuatan maksiat.
12.  Ihtilâm dan haid. Ihtilâm adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia balig. Adapun haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang ihtilâm dan haid tidak hanya sekadar untuk bisa memahami anak dari pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Jika terjadi ihtilâm dan haid, Islam telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah tersebut, antara lain kewajiban untuk melakukan mandi. Yang paling penting, harus ditekankan bahwa kini mereka telah menjadi Muslim dan Muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah. Artinya, mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggung jawab atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.
II.III           Tips Cerdas Berbicara Seks pada Anak
Banyak orang tua bingung menyikapi pertanyaan anak mengenai masalah seks. Berikut beberapa sikap yang disarankan dalam berbicara dengan anak tentang seks :
a)      Luangkan waktu untuk membuat dialog atau diskusi tentang seks dengan anak.
b)      Sikap terbuka, informatif, dan yakin atau tidak ragu-ragu.
c)      Siapkan materi dan penyampaian disesuaikan dengan usia anak.
d)     Gunakan media atau alat bantu konkret seperti boneka, gambar, binatang, untuk memudahkan anak menyerap informasi.
e)      Membekali diri dengan wawasan cukup untuk menjawab pertanyaan anak.
f)       Menjawab pertanyaan dengan jujur dan dengan bahasa yang lebih halus 
g)      Dalam memberikan pendidikan seks pada anak sebaiknya anak mengenali bagian tubuh dirinya sendiri dan jangan pernah mengeksplor tubuh orang lain.
h)      Mendiskusikan kepada ahli atau psikolog apabila ada hal-hal yang masih ragu atau bingung, terutama apabila terjadi hambatan dalam memberikan informasi.
i)        Menyakinkan diri bahwa pendidikan seks pada anak adalah penting dan bermanfaat.


















BAB III
PENUTUP
III.I   Kesimpulan
Pendidikan seks bukanlah tentang mendukung anak untuk melakukan hubungan seksual, tapi menjelaskan fungsi alami seks sebagai bagian diri mereka serta konsekuensinya jika disalahgunakan.
Orang tua merupakan aktor utama dalam hal pendidikan anak. Orang tua sebagai wahana belajar utama bagi anak, karena orang tua lah yang paling tepat untuk memberikan pendidikan seks pada usia dini. Orang tua tidak perlu ragu lagi akan pentingnya pendidikan seks sejak dini. Hilangkan rasa canggung yang ada dan mulailah membangun kepekaan akan kebutuhan pendidikan seks pada anak.
Kurangnya pembekalan ten­tang seks dan apabila tidak dimulai sejak dini maka akan lebih membahayakan apabila anak beranjak remaja. Para remaja bisa mencari informasi yang berhubungan dengan seks melalui berbagai sumber seperti buku, majalah, film, internet dengan mudah membuat anak menjadi bingung dan bias sebab didapat dari narasumber yang tidak layak. Padahal, informasi yang didapat belum tentu benar dan bahkan mungkin bisa menjerumuskan atau menyesatkan. Hasil akhirnya pun tentu tidak sesuai dengan harapan dan manfaat.







DAFTAR PUSTAKA
Sumber :
http://health.detik.com/read/2010/04/03/162239/1331267/764/pentingnya-pendidikan-seks- pada-anak-kebutuhan-khusus
http://www.frisianflag.com/id/ruang-media/liputan-media/4669-pentingnya-pendidikan-seks-pada-anak
http://ruangpsikologi.com/memberikan-pendidikan-seks-yang-sesuai-dengan-umur-anak/
http://deskamudina.blogspot.com/2013/04/perkembangan-dalam-menerapkan.html

Makalah Keperawatan Jiwa (Share)



BAB I
PENDAHULUAN
I.I    Latar belakang

Keperawatan merupakan kebutuhan pokok manusia sebagaimana halnya dengan semua usaha untuk memajukan kesejahteraan. Uraian tentang keperawatanyang baik harus dilakukan oleh seseorang perawat dengan sendirinya harus dimulai perawat itu sendiri.
Model keperawatan yang dijelaskan oleh Hildegard peplau mencakup segala sesuatu tentang diri individu itu sendiri yang tepatnya didalam dirinya, yaitu interpersonal, dan ini mengarah pada kejiwaan seseorang.ini lah model konsep teori yang dijadikan acuan perawat untuk melakukan tindakan keperawatan.
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Mampu menghadapi kecemasan didalam diri individu.
Jika seseorang tidak sanggup untuk mengatasi permasalahn didalam hidup mereka, terutama pada dalam diri mereka sendiri, akan timbul permasalahan permasalahan yang akan berakibat fatal yang tentunya akan mengganggu kehidupan orang yang mengalami permasalahan interpersonal ini. untuk itu diperlukan peran perawat dalam mengatasi masalah ini, untuk membantu pasien mengatasi masalah yang mungkin tidak  bisa diselesaikan sendiri oleh seseorang.
Perawat juga harus tau apa saja yang harus dilakukan, untuk inilah kami kelompok mengangkat model konseputual jiwa interpersonal yang dimana model konsep ini erat sekali dengan teori Hildegard E. Peplau. sehingga perawat memiliki gambaran untuk melakukan tindakan keperawatan yang tepat.

II.I Tujuan

Setelah menyusun makalah ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :
1.      Menjelaskan pengertian strategi pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa
2.      Menjelaskan fase orientasi dalam asuhan keperawatan jiwa
3.      Menjelaskan fase kerja dalam asuhan keperawatan jiwa
4.      Menjelaskan fase terminasi dalam asuhan keperawatan jiwa


BAB II
KONSEP TEORI

II.I       PENGERTIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA

A.    Menurut American Nurses Associations (ANA)

Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (American Nurses Associations).

B.     Menurut WHO

Kesehatan Jiwa bukan hanya suatu keadaan tdk ganguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yg adalah perawatan langsung, komunikasi dan management, bersifat positif yg menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yg mencerminkan kedewasaan kepribadian yg bersangkutan.

C.    Menurut UU KES. JIWA NO 03 THN 1966

Kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual emosional secara optimal dari seseorang dan perkebangan ini selaras dgn orang lain.
Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa (komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa) melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu, keluarga, kelompok komunitas).
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh sebagai manusia.


II.II     STRATEGI KOMUNIKASI

A.    Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

1.      Fase Orientasi

Fase ini, perawat dan klien bertindak sebagai 2 individu yang belum saling mengenal. Selama fase orientasi, klien merupakan seseorang yang memerlukan bantuan profesional dan perawat berperan membantu klien mengenali dan memahami masalahnya serta menentukan apa yang klien perlukan saat itu. Jadi, fase orientasi ini merupakan fase untuk menentukan adanya masalah,dimana perawat dan klien melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi proses pengumpulan data.
Fase orientasi dipengaruhi langsung oleh sikap perawat dan klien dalam memberi atau menerima pertolongan. Selain itu fase  ini juga dipengaruhi oleh ras, budaya, agama, pengalaman, latar belakang, dan harapan klien maupun perawat. Akhir dari fase ini adalah perawat dan klien bersama-sama mengidentifikasi adanya masalah serta menumbuhkan rasa saling percaya sehingga keduanya siap untuk melangkah ke fase berikutnya.
Fase orientasi terdiri dari :
a)         Salam terapeutik
b)        Evaluasi /validasi data
c)         Kontrak (topik,waktu,tempat)

2.      Fase Kerja

Fase kerja adalah fase dimana seorang ners melakukan inti terapeutik dalam berkomunikasi dengan topik atau tujuan sesuai dengan strategi pelaksanaan yang telah ditetapkan berdasarkan diagnosa keperawatan jiwa.
Pada fase ini, perawat memberi layanan keperawatan berdasarkan kebutuhan klien. Disini, masing-masing pihak mulai merasa menjadi bagian integral dari proses interpersonal. Selama fase kerja, klien mengambil secara penuh nilai yang ditawarkan kepadanya melalui sebuah hubungan.
Prinsip tindakan pada fase ini adalah menggali, memahami keadaan klien dan mencegah meluasnya masalah. Perawat mendorong klien untuk menggali dan mengungkapkan, perasaan, emosi, pikiran, serta sikapnya tanpa paksaan dan mempertahankan suasana terapeutik yang mendukung.
Fase kerja dimana perawat telah membantu kalien dalam membereikan gambaran kondisi klien.
Pada fase ini perawat juga dituntut untuk menguasai keterampilan berkomunikasi secara terapeutik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fase kerja merupakan fase pemberian bantuan pada klien sebagai langkah pemecahan masalah. Jika fase ini berhasil, proses interpersonal akan berlanjut ke fase akhir, yaitu fase terminasi.

3.      Fase Terminasi/Resolusi

Pada fase resolusi, tujuan bersama antara perawat dan klien sudah sampai pada tahap akhir dan keduanya siap mengakhiri hubungan terapeutik yang selama ini terjalin. Fase resolusi terkadang menjadi fase yang sulit bagi kedua belah pihak sebab disini dapat terjadi peningkatan kecemasan dan ketegangan jika ada hal-hal yang belum terselesaikan pada masing-masing fase. Indikator keberhasilan untuk fase ini adalah jika klien sudah mampu mandiri dan lepas dari bantuan perawat. Selanjutnya, baik perawat maupan klien akan menjadi individu yang matang dan lebih berpengalaman.
Dalam hubungan perawat-klien, ada enam peran perawat yang harus dilakukan. Peran tersebut berbeda pada setiap fasenya. Keenam peran tersebut adalah peran sebagai orang asing (role of the stranger), peran sebagai narasumber (role of resource person), peran sebagai pengajar (teaching role), peran sebagai kepemimpinan (leadership role), peran sebagai wali (surrogate role), dan peran sebagai penasihat (counseling role).
Role of the stranger merupakan peran awal dalam hubungan perawat-klien. Di sini, kedua belah pihak merupakan orang asing bagi pihak lain. Sebagai orang asing, perawat harus memperlakukan klien secara sopan, tidak  boleh memberi penilaian sepihak, menerima klien apa adanya, serta memperlakukan klien dengan penuh perasaan. Dalam perannya sebagai narasumber (role of resource person), perawat memberi jawaban yang spesifik dari setiap pertanyaan klien, terutama mengenai informasi kesehatan. Selain itu, perawat juga menginterpretasiakan kepada klien rencana perawatan dan rencana medis untuk hal tersebut.
Teaching role merupakan kombinasi dari seluruh peran dalam menggunakan informasi. Teaching role menurut peplau terdiri atas dua kategori yaitu intruksional, dan eksperimental. Penyuluhan intruksional adalah pemberian informasi secara luas dan merupakan bentuk yang di pakai dalam literatur pendidikan. Menyuluhan eksperimental adalah penyeluhan dengan menggunakan pengalaman dalam pengembangan pengajaran.
Leadership role merupakan peran yang berkaitan dengan kepemimpinan, terutama mengenai proses demokratis dalam asuahan keperawatan. Perawat membantu klien dalam mengerjakan tugas-tugasnya melalui hubungan yang sifatnya kooperatif dan melibatkan partisipasi aktif klien. Dalam surrogate role, klien menggap perawat sebagai walinya. Oleh sebab itu, sikap perawat dan perilakunya harus menciptakan perasaan tertentu dalam diri klien yang bersifat reaktif yang muncul dari hubungan sebelumnya. Funsi perawat disini adalah membimbing klien mengenali dirinya sendiri dan sosok yang ia bayangkan lalu membantunya melihat perbedaan antara dirinya dan sosok yang ia bayangkan tersebut.
Fase resolusi dimana perawat berusaha untuk secara bertahan klien untuk membebaskan diridari kertegantungan kepada tenaga kesehatan dan menggunakan kemampuan yang dimliki agar mampu menjalankan secara sendiri.
Peplau mempercayai bahwa counseling role memiliki peranan yang besar dalam keperawatan psikiatri. Dalam hubungan perawat-klien peran ini sangant penting sebab tujuan dari teknik hubungan antar-personal adalah membantu klien mengingat dan memahami sepenuhnya peristiwa yang terjadi pada dirinya saat ini. Dengan demikian, satu pengalaman dapat diintegrasikan dengan pengalaman lainnya dalam hidupnya, bukannya justru dipisahkan.
Fase terminasi terdiri dari :
a)         Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
b)        Rencana tindak lanjut
c)         Kontrak yang akan datang











II.III    STATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)

Pada suatu hari tepatnya hari minggu jam 9 pagi dirumah sakit jiwa Lawang terlihat seorng bapak dan ibu sedang menunngui anaknya yang mengalami gannguan halusinasi di ruang kamar pasien.

1.      Orientasi

a)      Salam Terapeutik
Perawat           :  assalamu’alaikum bapak/ibu
Bapak & ibu    : wa’alaikum salam sus…
Perawat           : saya perwat dina,saya yang merwat anak bapak dan Ibu
Bapak              : iya sus…

b)     Evaluasi
Perawat           : bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini?
Ibu                   : saya merasa sedih sus melihat anak saya seperti ini.
Perawat           : Ibu yang sabar ya,saya akan berusaha membatu untuk kesembuhan anak ibu
Ibu                   : ya sus,terima kasih
Perawat           : Apa pendapat ibu tentang anak Ibu?
Ibu                   : anak saya masih masih sering menyendiri dan berbicara sendiri tiba-tiba berteriak teriak..
Perawat           : Jadi anak ibu halusinasinyabelum terkontrol ya bu?
Ibu                   : iya sus saya takutdengan kondisi anak kami yang seperti ini.

c)      Kontrak
Perawat           : Hari ini kita akan berdiskusi tentang masalah apa yang anak bapak dan ibu alami dan bantuan apa yang bapak dan ibu bisa berikan’’
Ibu                   : iya sus…
Perwat             : kita mau berdiskusi dimana bu?’’
Bagaimamna kalau diruang wawancara’’?
Ibu                   : iya sus..

Perawat           : Berapa lama waktu bapak dan ibu untuk berdiskusi?
Ibu                   : Bagaimana kalau 15 menit saja sus
Perawat           : baiklah ibu…

Mari kita menuju ruang wawancara
Perawat, bapak dan ibu meninngalkan pasien diruangannya dan menuju ruang wawancara untuk mendiskusikan tentanghalusinasi dan cara cara merawat pasien halusinasi.

2.      Kerja

Perawat           : silahkan duduk bapak dan ibu
Ibu dan bapak : iya sus…
Perawat           : apa yang bapak /ibu rasakan menjadi maslah dalam merwat ’’W”?
Bapak              : kami masih belum bisa menghadapi anak kami saat berbicara sendiri dan berteriak teriak sendiri.
Perawat           : apa yang ibu / bapak lakukan?
Ibu                   : kami hanya bisa menyuruhnya diam dan mencoba menenangkan, tetapi anak kami tetap saja berteriak teriak dan marah marah sendiri
Perawat           : ya, gejala yang dialami oleh anak bapak/ibu itu itu dinamakan halusinsi pendengaran yaitu mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak ada yang berbicara.”tanda tandanya bicara dan tertawa sendiri atau marah marah tanpa sebab.jadi kalau anak bapak /ibu mendengar suara-suara,sebenarnya suara itu  tidak ada.
Ibu                   : ooo….jadi anak kami mengalami mengalami halusinasi pendengaran. Penyebabnya apa ya sus?
Perawat           : Penyebabnya harga diri rendah bu. Anak ibu merasa harga dirinya rendah sehingga anak ibu menarik diri kemudian timbul halusinasi.
Ibu                   : Terus bagaimana cara mengatasinya sus?
Perawat           :Ada beberapa cara untuk membantu anak Bapak/ibu agar bisa mengendalikan halusinasi.
Bapak              : Apa cara-caranya sus?
Perawat           : Cara-caranya tersebut antara lain :   
Pertama, dihadapan anak bapak/ibu, jangan membantah halusinasi atau mendukungnya. Katakan saja bapak/ibu percaya bahwa anak tersebut memang mendengar suara, tetapi bapak/ibu sendiri tidak mendengar suara apa-apa.
Kedua, jangan biarkan anak bapak/ibu melamun dan sendiri, karena kalu melamun halusinasi akan muncul lagi. Upayakan ada orang mau bercakap-cakap dengannya. Buat kegiatan keluarga seperti makan bersama, sholat bersama-sam. Tentang kegiatan, saya telah melatih anak bapak/ibu untuk membuat jadwal kegiatan sehari-hari. Tolong bapak/ibu pantau pelaksanaannya. Yaa……dan berikan pujian jika dia lakukan! Apakah ibu mengerti?
Ibu                   : Iya sus saya mengerti, saya akan melakukan sesuai saran suster dan memantaunya.
Perawat           : Cara yang ketiga yaitu bantu anak bapak/ibu minum obat secara teratur. Jadi bapak/ibu dapat mengingatkan kembali, ya babak/ibu...
Bapak              : Iya sus, kami akan selalu mengingatkan anak kami agar selalu minum obat. Karena kami sangat mengharapkan anak kami cepat sembuh. Kami sangat sedih sekali dengan kondisi anak kami yang seperti ini. Oh ya sus, obatnya apa saja?
Perawat           : Obatnya ada 3 macam, ini yang orange namanya CPZ gunanya untuk menghilangkaan suara-suara. Diminum 3x sehari pada jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam. Yang putih namanya THP gunanya membuat rileks, jam minumnya sama dengan CPZ tadi. Yang biru namanya HP gunanya menenangkan cara berfikir, jam minumnya sama dengan CPZ. Obatnya perlu selalu diminum untuk mencegah kekambuhannya pak/bu, apakah ibu dan bapak sudah mengerti?
Ibu                   : Iya sus, kami mengerti.
Perawat           : Yang terakhir, bila ada tanda-tanda halusinasi mulai muncul, putus halusinasi anak bapak/ibu dengan cara menepuk punggung anak bapak/ibu.Suruhlah anak bapak/ibu menghardik suara tersebut. Anak bapak/ibu sudah saya ajarkan cara halusnasi.





3.      Terminasi

a)      Evaluasi Subyektif
Perawat           : Bagaimana perasaan bapak/ibu setelah kita berdiskusi memutus halusinasi anak bapak/ibu
Ibu                   : Perasaan saya lebih baik dari sebelumnya, dan kekhawatiran saya menjadi berkurang karena sudah mengetahui cara-cara untuk memutus halusinasi ketika halusinasi anak kami muncul.

b)     Evaluasi Obyektif

Perawat           : Sekarang coba bapak/ibu sebutkan kembali tiga cara merawat anak bapak/ibu untuk memutus halusinasi.
Bapak              : Yang pertama, tidak boleh membantah halusinasi atau mendukungnya. Mengatakan percaya memang anak mendengar suara, tetapi saya sendiri tidak mendengarnya. Kedua, tidak boleh mendengarkan anak melamun dan sendiri, mengupayakan ada orang mau bercakap-cakap dengannya, dan membuatkan jadwal kegiatan sehari-hari. Ketiga, membantu anak minum obat secara teratur.
Perawat           : Bagus sekali, bapak/ibu telah memahaminya. Rencana tindak lanjut
Perawat           : Nah...bagaimana kalu bapak/ibu lakukan terus selama di RS agar nanti dirumah sudah lancar.
Ibu                   : Iya sus, akan kami lakukan terus selama di RS.

c)      Kontrak

§  Topik
Perawat     : “Baiklah, waktu kita sudah habis, bagaimana kalau dua hari lagi kita bertemu untuk mempraktekkan cara memutus halusinasi langsung dihadapan anak bapak/ibu?”
Bapak        : Iya sus, kami bersedia.



§  Tempat
Perawat     : Tempatnya mau dimana pak/bu?
Ibu             : Disini saja sus.

§  Waktu
Perawat     : Mau jam berapa ?
Bapak        : Jam 09.00 wib saja, seperti hari ini.
Perawat     : Baiklah bapak/ibu sampai jumpa hari selasa.
Ibu             : Iya sus, kalau begitu saya permisi dahulu. Assalamu’alaikum....
Perawat     : Wa’alaikumsalam….

Setelah mengucapkan salam kepada perawat, bapak/ibu dari anak “W” meninggalkan ruang wawancara. Mereka terlihat lebih tenang. Dan kemudian mereka menuju ruang anak “W”. Untuk melakukan cara-cara yang telah diajarkan perawat.




















BAB III
PENUTUP

III.I Kesimpulan

            Teori Hildegard Peplau (1952) berfokus pada individu, perawat, dan proses interaktif (Peplau, 1952) yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien (Torres, 1986). Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik.
            Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bisa muncul akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal).
            Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adanya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya. Dalam permasalahan interpersonal, seorang individu akan menampakan perilaku, diantaranya individu merasa terasingi, merasakan kecemasan yang berlebihan, senang menyendiri dan enggan untuk membicarakan permasalahan yang dialaminya.
             Tujun keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga dan untuk membantu klien mencapai kemantapan pengembangan kepribadian (Chinn dan Jacobs, 1995). Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan bentuk praktik keperawatan jiwa. Oleh sebab itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat dan klien dimana perawat bertugas sebagai narasumber, konselor, dan wali.

III.II    Saran

A.    Perawat
           
Perawat harus menjaga sosialisasi antara perawat dan klien, dalam melakukan tindakan keperawatan jiwa yang menyangkut tentang permasalahan interpersonal, sebaiknya perawat menggunakan konsep teori yang ada. 




B.     Mahasiswa perawat

Makalah ini sangat bagus untuk dibaca sebagai pedoman kita dalam memahami teori peplau mengenai konseptual model keperawatan jiwa interpersonal, Sehingga kedepan nanti kita bisa berkerja dengan baik,dan hubungan interpersonal yang kita lakukan baik. Sehingga kita bisa memberikan  keperawatan  yang baik kepada pasien.




























DAFTAR PUSTAKA

Ns. Asmadi, s. kep (2005).konsep dasar keperawatan.jakarta:Buku Kedokteran EGC
Ferry & Potter.2005.fundamental keperawatan vol.1 Edisi 4.jakarta:EGC
Hidayat,A.Aziz Alimul.(2004). Pengantar Konsep dasar Keperawatan. Salemba Medika.    
      Jakarta
Stuart, gail & Sandra J, 1998. keperawatan jiwa. EGC : jakarta
Purwaningsih,Wahyu , S.Kep. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika Press.
      Jogjakarta

Sumber :
http://nevy-anistya.blogspot.com/