BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Sistem imun terbentuk dari sel-sel darah putih, sumsum
tulang dan jaringan limfoid yang mencakup kelenjar timus, kelenjar limfe,
lien, tonsil serta adenoid. Diantara sel-sel darah putih yang terlibat dalam
imunitas terdapat limfotik B
(sel B) dan limfosit limfosit T
(sel T). Kedua sel ini berasal dari limfoblast
yang dibuat dalam sumsum tulang. Limfosit B mencapai maturitasnya dalam
sumsum tulang dan kemudian memasuki sirkulasi darah, limfosit T bergerak dari
sumsum tulang ke kelenjar timus tempat sel-sel tersebut mencapai maturitasnya
menjadi beberapa jenis sel yang dapat melaksanakan berbagai fungsi yang
berbeda.
Struktur
yang signifikan lainya adalah kelenjar limfe, lien, tonsil dan adenoid. Kelenjar limfe yang tersebar diseluruh tubuh
menyingkirkan benda asing dari sistem limfe sebelum benda asing tersebut
memasuki aliran darah dan juga berfungsi sebagai pusat poliferasi sel imun. Lien yang tersusun dari pulpa rubra dan alba
bekerja sebagai jaringan. Pulpa rubra
merupakan lokasi tempat sel-sel darah merah yang tua dan mengalami cedera
dihancurkan. Pulpa alba mengandung kumpulan limfosit. Limfosit lainnya,
seperti tonsil dan adenoid serta jaringan limfatik mukoid, mempetahankan tubuh
terhadap serangan mikroorganisme.
Imunitas
mengacu pada respon protektif tubuh yang spesifik terhadap benda asing atau
mikroorganisme yang menginvasinya. Kelainan pada sistem imun dapat berasal dari
kelebihan atau kekurangan sel-sel imunokompeten,
serangan imunoligik terhadap antigen sendiri, atau respon yang yang tidaktepat
atau yang berlebihan terhadap antigen spesifi. Kelainan yang berhubungan dengan
autoimunitas adalah penyakit dimana respon imun protektif yang normal
secara paradoksal berbalik melawan atau menyerang tubuh sendiri sehingga
terjadi kerusakan jaringan.
I.II Tujuan Penulisan
Adapun
tuuan pembuatan makalah ini adalah sbagai berikut :
1.
Untuk meningkatkan pengetahuan mengenai asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan sistem imunologi secara konsep.
2.
Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Asuhan
Keperawatan pada pasien yang mengalami ganguan system imunologi.
3.
Memenuhu tugas mata ajar Keperawatan Medikal Bedah.
I.III Ruang Lingkup Penulisan
Dalam
penuisan makalah kami hanya membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan sistem imunilogi.
I.IV Metode Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif dengan cara
mengumpulkan data, menganalisa data, dan menarik kesimpulan. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara studi keperpustakaan atau literature dengan
mempelajari yang berhubungan dengan gangguan sistem imunologi.
BAB II
LANDASAN TEORI
II.I Pengertian Imunitas
Sistem
imun membentuk sistem pertahanan badan terhadap bahan asing seperti
mikroorganisma (bakteria, kulat,
protozoa, virus dan parasit), molekul-molekul berpotensi toksik, atau
sel-sel tidak normal (sel terinfeksi virus atau malignan). Sistem ini menyerang
bahan asing atau antigen dan juga mewujudkan peringatan tentang kejadian
tersebut supaya pendedahan yang berkali-kali terhadap bahan yang sama akan
mencetuskan gerak balas yang lebih cepat dan tertingkat. Keimunan merujuk
kepada keupayaan sesuatu individu yang telah sembuh dari sesuatu penyakit untuk
kekal sihat apabila terdedah kepada penyakit yang sama untuk kali kedua dan
seterusnya.
Imunitas
atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen
serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar
yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai
cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka
dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti
biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru
agar dapat menginfeksi organisme.
( http://id.wikipedia.org/wiki/Imunitas)
Suatu
ciri sistem imun ialah keupayaan untuk membedakan bahan-bahan yang wujud secara
semula jadi atau normal (diri) dari bahan-bahan atau agen-agen yang masuk ke
dalam tubuh dari luar (bukan diri) dan menghasilkan gerak balas terhadap bahan
bukan diri saja. Ketidakwujudan khusus suatu gerak balas terhadap diri dikenali
sebagai toleransi. Pentingnya keupayaan untuk membedakan (mendiskriminasi)
antara diri dan bukan diri, serta toleransi diri, ditunjukkan dalam
penyakit-penyakit autoimun, apabila fungsi-fungsi tersebut gagal.
Penyakit-penyakit ini berhasil apabila bahan normal tubuh dicam sebagai asing
dan gerak balas imun dihasilkan terhadap bahan-bahan tersebut. Walau
bagaimananpun, sistem imun lazimnya amat berkesan membezakan antara diri dan
bukan diri.
II.II Fungsi Sistem Imun
Sistem
imun adalah perlu untuk kemandirian karena ia membekalkan keupayaan untuk
sembuh dari penyakit serta keimunan yang melindungi untuk masa yang lama. Dalam
keadaan biasa apabila sistem imun terdedah kepada organisma asing ia
bertindak-balas dengan menghasilkan antibody
dan rangsangan limfosit
spesifik-antigen, adapun peran dari antibody yaitu :
1.
Antibodi merupakan senjata yang tersusun dari protein dan dibentuk untuk melawan
sel-sel asing yang masuk ke tubuh manusia.
2.
Senjata ini diproduksi oleh sel-sel B, sekelompok prajurit pejuang dalam sistem kekebalan.
3.
Antibodi akan menghancurkan musuh-musuh penyerbu. Antibodi mempunyai dua fungsi, pertama
untuk mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen. Fungsi kedua adalah
membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya.,yang
membawa kepada pemusnahan mikroorganisma dan peneutralan produk-produk toksik
(toksin).
Suatu
fungsi penting sistem imun ialah mengawasi sel-sel tubuh supaya ia tidak
abnormal. Sel-sel terinfeksi virus, sel-sel malignan atau sel-sel individu lain
dari spesies yang sama, mempunyai penanda- penanda protein pada permukaan luar
yang memberi isyarat kepada sistem imun supaya memusnahkannya. Protein-protein
ini tergolong dalam sistem yang dipanggil kompleks kehistoserasian utama. (Major histocompatibility complex; MHC)
II.III Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Fungsi Sistem Imun
Seperti
halnya system tubuh yang lain, sistem imun akan berfungsi pada taraf yang
dikehendaki menurut fungsi sistem tubuh yang lain, factor-faktor yang ada
hubungannya sebagai berikut :
A. Usia
Frekuensi
dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia lanjut dan peningkatan
ini disebabkan oleh penurunan untuk bereaksi secara memadai terhadap
mikroorganisme yang menginveksinya. Produksi dan fungsi limfosit Tdan B dapat
terganggu kemungkinan penyabab lain adalah akibat penurunan antibody untuk
membedakan diri sendiri dan bukan diri sendiri.
Penurunan
fungsi system organ yang berkaitan dengan pertambahan usia juga turut menimbulkan gangguan imunitas.
Penurunan sekresi serta motilitas lambung memungkinkan flora normal intestinal
untuk berploriferasi dan menimbulkan infeksi sehingga terjadfi gastroenteritis
dan diare.
B. Gender
Kemampuan
hormone-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah diketahui dengan baik. Ada
bukti yang menunjukan bahwa esterogen memodulasi aktifitas limfosit T
(khususnya sel-sel supresor) sementara androgen berfungsi untuk mempertahankan
produksi interleukin dan aktifitas sel supresor. Efek hormon seks tidak begitu
menonjol, esterogen akan memgaktifkan populasi sel B yang berkaitan dengan
autoimun yang mengekspresikan marker CD5 (marker antigenic pada sel B).
Esterogen cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat
imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering ditemui pada wanita
ketimbang pad pria.
C. Nutrisi
Nutrisi
yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi imun yang optimal. Gangguan
imun dikarenakan oleh defisiensi protein kalori dapat terjadi akibat kekurangan
vitamin yang diperlukan untuk mensintesis DNA dan protein. Vitamin juga
membantu dalam pengaturan poliferasi sel dan maturasi sel-sel imun. Kelebihan
atau kekurangan unsur-unsur renik (tembaga, besi, mangan, selenium atau zink) dalam
makanan umumnya akan mensupresi fungsi imun Asam-asam lemam merupakan unsure
pembangun (building blocks) yang membentuk komponen structural membrane sel.
Lipid merupakan precursor vitamin A,D,E, dan K disamping prekursir kolesterol.
Bak kelebihan maupun kekurangan asam lemak ternyata akan mensupresi fungsi
imun.
Deplesi
simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan limfoid, depresi
respon anti body, penurunan jumlah sel T yang beredar dan gangguan fungsi
fagositosik sebagai akibatnya, kerentanan terhadap infeksi sangat meningkat.
Selama periode infeksi dan sakit yang serius, terjadi peningkatan kebutuhan
nutrisi yang potensialuntuk menimbulkan deplesi protein, asam lemak, vitamin,
serta unsure – unsure renik dan bahkan menyebabkan resiko terganggunya respon
imun serta terjadinya sepsis yang lebih besar.
D. Faktor -Faktor Psikoneuro Imunologik
Limfosit
dan makrofag memiliki reseptor yang dapat bereaksi terhadap neurotransmitter
serta hormon-hormon endokrin. Limfosit
dapat memproduksi dan mengsekresikan ACTH serta senyawa-senyawa yang mirip endofrin. Neuron dalam otak,
khususnya khusunya dalam hipotalamus, dapat mengenali prostaglandin, interferon
dan interleukin di samping histamine dan serotininyang dilepaskan selama proses
inflamasi. Sebagaimana sisitem biologic lainnya yang berfungsi untuk
kepentingan homoestasis, system imun di integrasikan dengan berbagai proses
psikofisiologic lainnya dan diatur serta dimodulasikan oleh otak.
Di
lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neural dan endokrin
termasuk prilaku. Jadi, interaksi sitem saraf dan system imun tampaknya
bersifat dua arah.
E. Kelainan Organ yang Lain
Keadaan
seperti luka bakar atau cedera lain, infeksi dan kanker dapat turut mengubah
fungsi system imun. Luka bakar yang luas atau faktor-faktor lainnya menyebabkan
gangguan integritas kulit dan akan mengganggu garis pertama pertahanan tubuh
ilangnya serum dalam jumlah yang besar pada luka bakar akan menimbulkan deplesi
protein tubuh yang esensial, trmasuk immunoglobulin. Stresor fisiologi dan
psilkologik yang disertai dengan stress karena pembedahan atau cidera kan
menstimulasi pelepasan kortisol saerum juga turut menyebabkan supresi respon
imun yang normal.
Keadaan
sakit yang kronis dapat turut mengganggu system imun melalui sejumlah
cara. Kegagalan ginjal berkaitan dengan defisiensi limfosit yang beredar.
Fungsi imun untuk pertahanan tubuh dapat berubah karena asidosis dan toksin
uremik. Peningkatan insidensi infeksi pada diabetes uga berkaitan dengan
isufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar glukosa darah yang
buruk. Infeksi saluran nafas yang rekuren berkaitan dengan penyakit paru
obstruksi menahun sebagai akibat dari berubahnya fungsi inspirasi dan ekspirasi
dan tidak efektifnya pembersihan saluran nafas.
F. Penyakit Kanker
Imunosekresi
turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun, penyakit kanker sendiri
bersifat imunosupresif. Tumor yang besar dapat melepaskan antigen ke dalam
darah, antigen ini akan mengikat antibody yang beredar dan mencegah antibody
tersebut agar tidak menyerang sel-sel tumor. Lebih lanjut, sel-sel tumor dapat memiliki factor penghambat yang khusus yang menyalut sel-sel tumor dan mencegah pengahancurannya oleh limposit
T killer. Dalam stadium awal pertumbuhan tumor, tubuh tidak mampu mengenali antigen
tumor sebagai unsure yang asing dan selanjutnya tidak mampu memulai distruksi
sel-sel yang maligna tersebut.kanker darah seperti
leukemia dan limpoma berkaitan dengan berubahnya produksi serta fungsi sel
darah putih dan limposit.
G. Obat-obatan
Obat-obatan
tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak
dikehendaki pada fungsi system imun. Ada empat klasifikasi obat utama yang
memiliki potensi untuk menyebabkan imunosupresi: antibiotic, kortikostreoid,
obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID; Nonsteroidal anti inflamatori
drugs) dan preparat sitotoksik. Penggunaan preparat ini bagi keperluan
terapeutik memerlukan upaya untuk mencari kesinambungan yang sangat tipis
antara manfaat terapi dan supresi system pertahanan tubuh resipien yang
berbahaya.
H. Radiasi
Terapi
radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau pencegahan
rejeksi allograft. Radiasi akan menghancurkan limposit dan menurunkan populasi
sel yang diperlukan untuk menggantikannya. Ukuran atau luas daerah yang akan
disinari menetukan taraf imunosupresi. Radiasi seluruh tubuh dan dapat
mengakibatkan imunosupresi total pada orang yang menerimannya.
I. Genetic
Interaksi
antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara
genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan
rendah terhadap antigen tertentu.
Ia
dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap
antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak
100%. Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada
pada kompleks MHC dengan non MHC.
1. Gen kompleks MHC
Gen
kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen
yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan sel Td serta sel Th akan
mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel
T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi
variasi respons imun. Secara klinis terlihat juga bahwa penyakit tertentu
terdapat lebih sering pada HLA tertentu, seperti spondilitis ankilosing
terdapat pada individu dengan HLA-B27.
2. Gen non MHC
Secara
klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan gen tertentu,
misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang terangkai dengan kromosom X yang
hanya terdapat pada anak laki-laki. Demikian pula penyakit alergi yaitu
penyakit yang menunjukkan perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu
merupakan penyakit yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya peran
genetik dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.
J. Kehamilan
Salah
satunya yaitu Infeksi : beberap infeksi yang terjadi secara kebetulan selama
kehamilan dapat menyebabkan cacat sejak lahir. Campak jerman (rubella) bisa
menyebabkan cacat sejak lahir, terutama sekali pada jantung dan bagian dalam
mata. Infeksi cytomegalovirus bisa melewati plasenta dan merusak hati dan otak
janin. Infeksi virus lainnya yang bisa membahayakan janin atau menyebabkan
kerusakan kelahiran termasuk herpes simplex, dan cacar air (varicella).
Toksoplasma, infeksi protozoa, bisa menyebabkan keguguran, kematian janin, dan
cacat sejak lahir serius. Listeriosis, infeksi bakteri, juga bisa membahayakan
janin. Infeksi bakteri pada vagina (seperti bakteri vaginosis) selama kehamilan
bisa menyebabkan persalinan sebelum waktunya atau membran yang berisi janin
gugur sebelum waktunya. Pengobatan pada infeksi dengan antibiotik bisa
mengurangi kemungkinan masalah-masalah ini.
K. Jenis-Jenis Imunitas
Ada dua tipe imunitas, yaitu:
a. Imunitas Alami (Natural)
Merupakan
kekebalan nonspesifik yang ditemukan pada saat lahir, imunitas alami akan
memberikan respon nonspesifik terhadap setiap benda asing tanpa memperhatikan
komposisi penyerang tersebut. Dasar mekanisme tersebut pertahanan alami
semata-mata berupa kemampuan untuk
membedakan antar sahabat dan musuh.
b. Imunitas yang di dapat
Imuitas
yang didapat (aqquired imunity) terdiri atas respon imun yang tidak
didapat pada saat lahir tetapi akan diperoleh kemudian dalam hidup seseorang.
Imunitas didapat setelah seseorang terjangkit suatu penyakit atau mendapat
imunisasiyang menghasilkan respon imun yang bersifat protektif.
c. Stadium Respon Imun
Ada empat stadium yang batasnya jelas dalam suatu
respon imun, yaitu :
A. Stadium Pengenalan
Dasar setiap reaksi imun adalah pengenalan (recognition) yang merupakan tahap
yang paling pertama. Tahap atau stadium ini merupakan kemampuan dari sistem
imunitas untuk mengenali antigen
sebagai unsur yang asing atau bukan bagian dari dirinya sendiri dan dengan
demikian merupakan kejadian pendahulu dalam setiap reaksi imun.Tubuh harus
mengenali penyerang nya sebagai unsure asing sebelum bereaksi terhadap penyrang
tersebut.
B. Stadium Proliferasi
Limfosit
yang beredar dan mengandung pesan antigenic akan kembali ke nodus limfikatikus
terdekat. Begitu berada dalam nodus limfatikus, limfosit yang sudah disentisasi
akan menstimulasi sebagian limfotik nonaktif (dormant) yang menghuni nodus
tersebut untuk membesar, membelah diri, mengadakan poliferasi dan
berdiferensiasi menjadi limfosit T atau B. Pembesaran nodus limfatikus dalam
leher yang menyertai sakit leher merupakan salah satu contoh dari respon imun.
C. Stadium Respon
Dalam
stadium respon, limfosit yang sudah berubah akan berfungsi dengan cara humoral
atau seluler.Respon humoral inisial, produksi antibody oleh limfosit B sebagai
reaksi terhadap suatu antigen spesifik akan memulai respon humoral .Humoral
mengacu kepada kenyataan bahwa antibody dilepas ke dalam aliran darah dan
dengan demikian akan berdiam di dalam p;asma atau fraksi darah berupa cairan.
Respon
seluler inisial, limfosit yang sudah disensitisasi dan kembali ke nodus
limfatikus (yang bukan daerah yang mengandung limfosit yang sudah deprogram
untuk menjadi sel-sel plasma) tempat sel-sel tersebut untuk menstimulasi
limfotik yang berada dalam nodus ini menjadi sel-sel yang akan menyerang
langsung mikroba dan bukan menyerangnya lewat kerja antibody.
D. Stadium Efektor
Dalam
stadium ini , antibody dari respon humoral atau sel T sitotoksik dari respon
seluler akan menjangkau antigen dan terangkai dengan antigen tersebut pada
permukaan objek yang asing. Perangkaian ini memulai suatu seri kejadian yang
pada sebagian besar kasus akan mengakibatkan penghancuran mikroba yang
menginvasi tubuh atau menetralisis toksin secara total. Kejadian tersebut
meliputi interaksi antibody (imunitas humoral), komplemen dan kerja
sel-sel T sitotoksik (imunitas seluler)
E. Antibody dan Penghasilannya
Antibodi
merupakan molekul-molekul dalam plasma yang berfungsi mengcam dan bergabung
dengan antigen asing. Antibodi tergolong ke dalam kumpulan protein yang
dipanggil imunoglobulin (Ig).
Terdapat lima kelas
imunoglobulin berdasarkan perbedaan struktur, yaitu IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE. Antibodi membanteras infeksi melalui
berbagai cara. Organisma ataupun toksin-toksin yang dihasilkan boleh
dineutralkan oleh antibodi yang menghalang bahan-bahan tersebut dari bergabung
kepada sel. Antibodi juga membantu sel-sel fagosit (makrofaj, neutrofil)
menelan bakteria atau menyebabkan lisis organisma dan sel terinfeksi. Ini
terhasil dari kerjasama antibodi dengan pelengkap
atau sel NK.
IgG merupakan antibodi yang paling banyak, terdapat
terutamanya dalam serum, serta cecair dalam badan. IgG adalah benteng
pertahanan penting terhadap bakteria, virus atau kulat yang telah memasukki
badan. Dalam manusia, IgG merupakan satu-satunya imunoglobulin yang boleh
melintas plasenta, oleh itu penting untuk pertahanan bayi baru lahir terhadap
infeksi bakteria dan virus.
IgM ialah imunoglobulin berukuran paling besar dan
terdiri dari lima unit yang digabungkan. IgM ialah kelas antibodi yang
dihasilkan paling awal dalam gerak balas primer dan ia merupakan pengaktif
sistem pelengkap yang efisyen. Sistem
pelengkap terdiri dari satu set protein plasma yang apabila diaktifkan
dalam urutan yang betul membentuk laluan (lobang) pada membran sel sasaran dan
membawa kepada kematian sel. IgM dan pelengkap amat efisyen memusnahkan
bakteria Gram negatif atau parasit protozoa yang telah memasukki saluran darah.
Pelengkap juga menyebabkan gerak balas keradangan apabila diaktifkan.
IgA merupakan benteng terhadap organisma patogen dalam
usus, saluran pernafasan dan saluran urogenital. Sel B penghasil antibodi yang
terdapat di kawasan-kawasan ini menghasilkan molekul IgA dimer, yang diangkut
melintasi selaput epitelium dan dirembeskan pada permukaan mukosa. IgA rembesan
menghalang pergabungan bakteria dan virus kepada epitelium, dan oleh yang
demikian mencegah penyakit setempat atau patogen dari merebak ke bahagian tubuh
yang lain. Keseluruhannya, IgA adalah antibodi yang banyak di dalam tubuh.
IgE boleh mencetuskan tindak balas alergi cepat seperti asma (lelah). Antibodi ini bergabung
dengan permukaan sel-sel mast
yang terdapat berhampiran saluran darah. Sel-sel ini mengandungi granul-granul
yang terdiri dari histamina dan
bahantara keradangan lain dan bahan-bahan ini dibebaskan dengan cepat apabila
partikel-partikel seperti debunga atau bulu haiwan bergabung dengan molekul IgE
yang tergabung pada permukaan sel mast. Histamina dan bahan-bahan lain yang
dibebaskan oleh sel mast menyebabkan gejala-gejala yang dikaitkan dengan tindak
balas alergi.
IgD beroperasi bersama IgM sebagai reseptor untuk antigen
pada permukaan sel amat sedikit IgD dirembeskan. Input dari sel T penolong
lazimnya diperlukan untuk sel B berkembang menjadi sel plasma penghasil
antibodi. Sel T penolong menghasilkan protein-protein larut, atau sitokina, yang dipanggil interleukin (IL) 4, 5 dan 6 yang
menyebabkan sel B membahagi dan membeza selepas bergabung dengan antigen.
Keperluan sel T penolong menerangkan mengapa penghasilan antibodi berkurangan
dalam penyakit AIDS, di mana sel T penolong dimusnahkan oleh infeksi HIV.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
III.I Pengertian
SLE
(Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai
macam autoantibodi dalam tubuh.
III.II Patofisiologi
Penyakit
SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif)
dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan
produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.
III.III Manifestasi Klinis
A. System Muskuloskletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa
nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
B. Sistem Integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat
mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
C. Sistem Kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
D. Sistem Pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
E. Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
F. Sistem Perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
G. Sistem Saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh
bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
III.IV Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis
SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan
darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan
dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum :
anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan
antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostic lainnya mendukung
tapi tidak memastikan diagnosis.
III.V Penatalaksanaan Medis
A.
Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis
minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
B.
Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal
dan sistemik ringan SLE
C.
Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion)
untuk fungsi imun.
1) Pengkajian
A. Anamnesa
Anamnesis
riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah,
nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya
hidup serta citra diri pasien.
B. Kulit
Ruam
eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
C. Kardiovaskuler
Friction
rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous
papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi
di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tanga.
D. System Musculoskeletal
Pembengkakan
sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
E. System Integument
Lesi
akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
F. System Pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
G. System Vaskuler
Inflamasi
pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
H. System Renal
Edema dan hematuria.
I. System Saraf
Sering
terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
2) Diagnose Keperawatan Dan Intervensi
ü Nyeri b.d inflamasi dan kerusakan
jaringan.
Tujuan
: mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi
:
a.
Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan
kenyamanan (komprespanas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur
busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan
perhatian)
b.
Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang
dianjurkan.
c.
Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan
pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d.
Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang
rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e.
Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien
untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang
belum terbukti manfaatnya.
f.
Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang
membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g.
Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada
rasa nyeri.
ü Keletihan b.d peningkatan aktivitas penyakit,
rasa nyeri, depresi.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a.
Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan
kenyamanan (kompres panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur
busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan
perhatian)
b.
Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang
dianjurkan.
c.
Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan
pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d.
Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang
rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e.
Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien
untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang
belum terbukti manfaatnya.
f.
Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang
membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g.
Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada
rasa nyeri.
ü Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada
saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan
: mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a.
Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan
dalam mobilitas.
b.
Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi
okupasi/fisioterapi
1)
Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
2)
Meningkatkan pemakaian alat bantu
3)
Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman
4)
Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat
c.
Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d.
Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika
diperlukan.
1)
Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
2)
Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan
aktivitas.
3)
Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
ü Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang
diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan
: mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik
yang ditimbulkan penyakit.
Intervensi :
1)
Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian
gejala penyakit dan penanganannya.
2)
Dorong
verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
ü Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
1)
Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan
maserasi
2)
Hilangkan kelembaban dari kulit
3)
Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera
termal akibat
4)
penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
5)
Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan
preparat tabir surya.
BAB IV
PENUTUP
IV.I Kesimpulan
Sistem
imun terbentuk dari sel-sel darah putih, sumsum tulang dan jaringan
limfoid yang mencakup kelenjar timus, kelenjar limfe, lien, tonsil serta
adenoid. Diantara sel-sel darah putih yang terlibat dalam imunitas terdapat
limfotik B (sel B) dan limfosit limfosit T (sel T). Kedua sel ini berasal dari
limfoblast yang dibuat dalam sumsum tulang. Limfosit B mencapai maturitasnya
dalam sumsum tulang dan kemudian memasuki sirkulasi darah, limfosit T bergerak
dari sumsum tulang ke kelenjar timus tempat sel-sel tersebut mencapai
maturitasnya menjadi beberapa jenis sel yang dapat melaksanakan berbagai fungsi
yang berbeda.
IV.II Saran
Mengingat
begitu kompleksnya masalah yang ditemukan akibat dari penyakit system imun ,
maka diharapkan kepada seluruh pihak-pihak medis terkait dapat memperhatikan
kondisi atau gejala-gejala dari penyakit ini serta dapat segera melakukan
pembangunan yang tepat dalam memberikan terapi dan pengobatan yang bagi pasien
yang terserang penyakit tersebut. Kepada pihak rumah sakit diharapkan untuk
lebih meningkatkan mutu dan kualitas dari pelayanan kesehatan yang telah ada
untuk memudahkan dalam penanganan kasus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A., dan Lorraine
M. Wilson. 1994. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC.
Sodeman. 1991. Patofisiologi
Edisi 7 Jilid II. Jakarta: Hipokrates
Waspadji, Soeparman Sarwono.
1994. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI
Brunner & Suddarth. 1997. Keperawatan
Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC
Reevers, Charlene J.,
dkk. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Sumber :
Leukimia and lymphoma
society.lymphoma.2007.www.leukimia-lymphoma.org
http://fitralxt190110.blogspot.com/2011/09/askep-sistem-imun.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar