BAB I
PENDAHULUAN
Kejahatan merupakan gejala sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu sampai sekarang; Perkembangan kejahatan yang terjadi melalui informasi berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, atau apabila kita membaca statistik kriminal dapat ditemukan adanya peningkatan angka kejahatan dalam masyarakat; Peningkatan angka kejahatan ini tidak hanya terjadi pada peningkatan jumlah atau kuantitas kejahatan, melainkan juga terjadi peningkatan pada modus operandi atau teknik dan taktik dalam melakukan kejahatan.
Terjadinya berbagai jenis kejahatan di tengah
masyarakat mengindikasikan, bahwa korban demi korban terus berjatuhan dengan
kerugian dan penderitan yang sangat besar; Kerugian yang timbul sebagai akibat
kejahatan, dapat terjadi dalam berbagai bentuk; Sahetapy mengemukakan
kerugian-kerugian akibat suatu kejahatan sebagai berikut:
Kerugian
yang diderita oleh korban kejahatan bukan hanya dalam bentuk fisik seperti
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyembuhkan luka fisik, tetapi juga
kerugian nonfisik yang susah bahkan tidak dapat dinilai dengan uang. Hilangnya
keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup, dan kepercayaan diri karena
kecemasan dan ketakutan dari bayang-bayang kejahatan yang selalu terbayang menghantui,
adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bias timbul.
Menurut
Reksodiputro, penderita dan kerugian korban kejahatan dapat dibedakan menjadi
dua bagian yaitu:
a) kerugian yang bersifat materiel
(dapat diperhitungkan dengan uang)
b) kerugian yang bersifat immateriel
misalnya perasaan takut, sedih, kejutan psikis dan lain-lain.
Bentuk-bentuk
kerugian dan penderitaan korban ini dikemukakan juga oleh Muladi dan Arief,
sebagai berikut :
Ternyata
esensi kerugian tidak hanya bersifat materiel atau penderitaan fisik saja,
melainkan juga bersifat psikologis; Hal ini dalam bentuk trauma, kehilangan
kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum; Sintom dan Sindrom
tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga, sinisme, depresi,kesepian
dan berbagai perilaku penghindaran yang lain.
Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat diperoleh gambaran betapa besar penderitaan yang dialami seseorang atau kelompok orang yang menjadi korban kekerasan seksual karena selain penderitaan fisik, mereka juga mengalami penderitaan psikis yang sangat berat.
Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat diperoleh gambaran betapa besar penderitaan yang dialami seseorang atau kelompok orang yang menjadi korban kekerasan seksual karena selain penderitaan fisik, mereka juga mengalami penderitaan psikis yang sangat berat.
Secara
umum terjadinya kejahatan sangat merugikan masyarakat, khususnya korban
kejahatan; salah satu jenis kejahatan
yang terjadi yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat, ialah: tindak
pidana perkosaan, lebih teragis lagi bila perkosaan itu dilakukan dikalangan
keluarga sendiri (sebut saja: kekerasan seksual/ perkosaan sedarah/ Incest).
Incest adalah hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait hubungan darah.
Incest adalah hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait hubungan darah.
Barda Nawawi, mengemukakan bahwa incest adalah
persetubuhan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau samping sampai
derajat ketiga.
Margaret Mead yang dikutip majallah Intisari (1992:
60) memaparkan incest “sebagai pelanggaran atas perbuatan seksual yang
terlarang antara dua anggota keluarga inti, kecuali hubungan seksual suami
isteri” seperti: hubungan seksual yang dilakukan antara Bapak dan anak, sesama
saudara kandung, atau juga yang dilakukan oleh ibu dengan anaknya. Dampaknya dapat
ditebak, bagaimana traumatisnya baik terhadap si pelaku maupun si korban,
sehingga pelaku incest cenderung memilih bungkam daripada aibnya diketahui oleh
public
Singgih Wijaya sebagaimana dikutip Inti Sari (1992:167) menegaskan bahwa tindakan incest dapat dibedakan kepada beberapa kategori:
Singgih Wijaya sebagaimana dikutip Inti Sari (1992:167) menegaskan bahwa tindakan incest dapat dibedakan kepada beberapa kategori:
1) Praktek Pedophilic Incest; yaitu
dilakukan seorang ayah yang tidak matang siko seksualnya atau mengalami kesulitan
seksual; Untuk memenuhi fungsi seksualnya ia
berhubungan dengan anak gadisnya;
2) Psycopathic incest adalah perilaku
incest yang dilakukan seorang penderita sakit jiwa (psycopat) yang menganggap
kebanyakan orang, termasuk anaknya sendiri sebagai objek seksual. Karenanya,
pelaku incest semacam ini hampir tidak pernah menunjukan rasa bersalah atas
perbuatannya, bahkan cenderung nekat, tak segan melakukan perkosaan terhadap
orang lain yang bukan penghuni rumahnya; Seperti sepupuan atau terdapat
hubungan saudara lainnya;
3) Family generated incest; seorang
ayah yang fasif sementara sang isteri terganggu keperibadiannya; akibatnya,
kehidupan perkawinan bagi mereka hambar dan anak-anak menjadi sasaran seksual;
Si anak dijadikan semacam gundik ayahnya sendiri.
Tindakan
incest bukanlah masalah perempuan semata, tapi problema yang harus dihadapi
oleh seluruh masyarakat; Sedangkan dampak terjadinya incest ini terhadap si
korban, selain memojokan kedudukan korban, juga si-korban menjadi rendah diri,
pemalu, traumatis, bahkan beban penderitaan korban tidak akan sirna untuk
selamanya, sehingga tidak menutup kemungkinan beban yang tidak dapat dipikul
itu menyebabkan korban bunuh diri atau gila.
Tindakan
pemerkosaan dilakukan secara sadis dan tidak berprikemanusiaan. Mereka
melakukan ancaman, perkosaan dan lainnya; Kerugian yang diderita korban berupa
fisik atau matriel sebagaimana dialami korban kejahatan umumnya, dan nonfisik
yaitu hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup, trauma, rasa malu
terhadap lingkungan karena perkosaan sangat berkaitan dengan harkat dan
martabat manusia.
Dampak yang sangat berat terhadap korban perkosaan ini, apabila terjadi perkosaan kadang-kadang muncul berbagai reaksi dari masyarakat; Salah satu reaksi masyarakat dapat dilihat pada apa yang dikemukakan oleh Topo Santoso, yang dikutip dari media massa saat terjadi perkosaan pada keluarga Acan di Bekasi, yang menunjukan kemarahan masyarakat misalnya: “Pemerkosa itu biadab, mereka seperti PKI, hukum mati saja, mereka harus di hukum seberat-beratnya”
Dampak yang sangat berat terhadap korban perkosaan ini, apabila terjadi perkosaan kadang-kadang muncul berbagai reaksi dari masyarakat; Salah satu reaksi masyarakat dapat dilihat pada apa yang dikemukakan oleh Topo Santoso, yang dikutip dari media massa saat terjadi perkosaan pada keluarga Acan di Bekasi, yang menunjukan kemarahan masyarakat misalnya: “Pemerkosa itu biadab, mereka seperti PKI, hukum mati saja, mereka harus di hukum seberat-beratnya”
Selain
reaksi masyarakat, Menteri Negara urusan peranan wanita pada kabinet pembangunan
VI mengusulkan agar pelaku perkosaan dihukum dengan hukuman berat, ditayangkan
wajahnya di Televisi dengan tujuan menimbulkan rasa malu bagi pelaku agar jera
dan tidak mengulangi lagi perbuatannya, atau untuk mencegah pelaku potensial
agar tidak melakukan perkosaan, bahkan sampai saat ini reaksi terhadap
perkosaan masih terus diserukan oleh masyarakat.
Perkosaan
seringkali mendapat reaksi keras dari masyarakat, namun tindak pidana ini
semakin terjadi, jika peristiwa ini terjadi pada seorang gadis, remaja atau
anak-anak, terlebih lagi bila terjadi terhadap keluarga sedarah (incest);
seolah-olah peristiwa ini menghancurkan masa depan korban, karena pada umumnya
masyarakat Indonesia masih mengagungkan nilai kegadisan, hal ini dipengaruhi
oleh faktor budaya dan agama; Dari segi agama perkawinan dianggap sesuatu yang
suci, sehingga korban perkosaan dianggap telah ternoda sebelum memasuki
perkawina suci. Lebih dari itu, jangankan melakukan perkosaan, bahkan zina
(suka sama suka pun) dilarang dalam agama (Islam).
BAB II
PERMASALAHAN
Korban kejahatan merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dibahas, selama ini para ahli hukum pidana lebih banyak membahas kejahatan dalam kaitannya dengan pelaku, sedangkan korban kejahatan kurang mendapat perhatian, mereka seolah-olah dilupakan, padahal korban kejahatan termasuk korban perkosaan merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari pelaku kejahatan, karena dalam kasus perkosaan pasti ada korban yang sangat menderita baik fisik maupun psikis. Dalam penyelesaian tindak pidana (perkosaan) yang terjadi, korbanpun mempunyai peran yang sangat penting, yaitu dihadirkan sebagai saksi, tanpa peran korban kejahatan, peristiwa itu mungkin tidak bisa diperoses karena minimnya alat bukti, namun kadang-kadang dalam peroses peradilan, korban sering mangalami kekecewaan.
Berbicara
mengenai hukum positif terutama hukum acara pidana, telah diatur berbagai macam
ketentuan yang memberikan perlindungan bagi tindak pidana, yaitu diatur tentang
hak-hak tersangka dan terdakwa, hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap
tingkat pemeriksaan, bahkan berhak untuk mendapatkan bantuan hukum secara
cuma-cuma dari negara. Jika tersangka atau terdakwa mendapat perlakuan hukum
yang bertentangan dengan hak-haknya, mereka dapat menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi nama baiknya melalui gugatan praperadilan, sedangkan korban yang
sangat menderita baik fisik maupun psikis, masih merupakan persoalan yang
kurang mendapat perhatian.
BAB III
TEORI KORBAN PERKOSAAN
Teori
merupakan salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam suatu penulisan
ilmiah, karena teori yang digunakan dalam penulisan, dapat dijadikan sebagai
dasar untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan yang diteliti secara
sistematis; Permasalahan dalam tulisan ini berkaitan dengan perlindungan hukum
bagi korban, khususnya korban perkosaaan sedarah, penyebab terjadinya kekerasan
seksual incest dan dampaknya terhadap korban serta bagaimana bila dilihat dari
kacamata agama (Islam).
Kaitan dengan perlindungan hukum bagi korban perkosaan sedarah, sebagai pisau analisis untuk membahas permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini, dapat dikemukakan beberapa teori:
Kaitan dengan perlindungan hukum bagi korban perkosaan sedarah, sebagai pisau analisis untuk membahas permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini, dapat dikemukakan beberapa teori:
1.
Teori Kontrol Social
Mulai
mengemukakan mengenai teori kontrol sebagai dasar perlindungan bagi warga
negara:
Untuk
mengedepankan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, negara boleh
dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang
tindakan-tindakan yang bersifat pribadi; Maka dari itu bilamana terjadi
kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk
memperhatikan kebutuhan para korban .
Makna dari
kontrol sosial ini, bahwa negara harus melindungi dan memberikan rasa kedamaian
dan kesejahteraan bagi warga negara; Perlindungan hukum bagi warga negara telah
memiliki dasar konstitusional dalam hukum dasar, yaitu Undang-undang Dasar
1945; Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia ke IV ditegaskan bahwa .
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia”; Tekad untuk melindungi warga negara ini
diimplementasikan pada pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar 1945; Dalam Pasal
27 ayat (1) dinyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”. Lebih dari itu, perlindungan korban termasuk
salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia Internasional, yang
menjadi Resolusi Majlis Umum PBB No.40/ 43 dalam Kongres VII PBB Tahun 1985
tanggal 29 November 1985 di Milan. Orang yang mengalami penderitaan, maka ia termasuk orang yang
dirugikan.
Berdasarkan
uraian di atas dapat dimengerti, bahwa penyidikan dan penyusunan surat dakwaan
yang berkualitas sangat bermanfaat bagi korban pemidanaan, oleh hakim merupakan
hal penting bagi korban juga, sebab lewat pemidanaan korban dapat menuntut
kerugian yang dialaminya; Selain itu pemidanaan dapat memulihkan keseimbangan
yang terganggu karena secara umum terjadinya perkosaan menimbulkan gangguan
terhadap keseimbangan dalam masyarakat.
2.
Teori Penyebab Terjadinya Incest
Salah satu
penyebab sumber terjadinya kejahatan (termasuk perkosaan sedarah) menurut
Bonger: adalah kemiskinan dan kesengsaraan, artinya pengaruh keadaan terhadap
jiwa manusia; kesengsaraan membuat fikiran menjadi tumpul, kebodohan dan
ketidakberadaban. Karenanya Socrate menunjukan bahwa pendidikan yang
dilaksnakan di rumah dan di sekolah memgang peranan yang sangat penting dalam
membentuk keperibadian seseorang.
Tempat
ibadah merupakan tempat yang suci yang mampu menghubungkan dan menenteramkan
jiwa antara khalik dan makhluk, demikian juga tempat penggamblengan rohani
marupakan sarana dan arena penerpaan jiwa yang mampu membendung dan
menentramkan jiwa, oleh karena itu, minimnya pendidikan mental, kerohanian dan
atau keagamaan dapat menjadi dasar penyebab terjadinya kejahatan Incest.
3.
Teori Tentang Korban (Victim)
Menurut
deklarasi perinsip-perinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalah
gunaan kekuasaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (1985) sebagaimana dikutif Arief
Gosita, yang dimaksud dengan korban (victim) adalah “orang-orang yang secara
pribadi atau kolektif telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau
mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau pengurangan substansial
hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaraan-pembiaraan
(omissions) yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan
kekuasaan”.
4.
Teori Hukum Islam
Hukum
pidana Islam yang kerap kali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak
manusiawi, hukum cambuk, hukuman mati umpamanya, seringkali hanya dilihat dari
satu sisi saja, yaitu kemanusiaan menurut standar abad 20 yang dianggap paling
beradab, tetapi tidak dilihat alasan, maksud, tujuan dan keefektifan hukuman
tersebut.
Hukuman
dalam Islam memiliki landasan yang kokoh yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw,
dan bukan berdasarkan dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang dirasa adil;
Dari sisi kepastian hukum juga jelas karena manusia dilarang mengubah hukuman
yang diancamkan, jadi untuk tindak pidana yang diberi ancaman hukuman hadd
tidak boleh ada perobahan, perbuatan yang dilarang tetap menjadi sesuatu yang
diharamkan sampai kapanpun.
Kasus zina
umpamanya, ditegaskan bahwa hukuman mati bagi pelaku yang muhsan (terikat
perkawinan) hanya dapat dilakukan setelah melalui proses pembuktian yang sangat
ketat, sehingga dimasa Nabi dan Sahabatpun penjatuhan hukum ini dapat dihitung
dengan jari. Jelasanya alat bukti berupa empat orang saksi yang langsung
melihat perzinaan itu tidaklah mudah; Apalagi dalam hukum pidana Islam juga ada
ancaman pidana 80 kali cambuk bagi penuduh zina yang tidak ada bukti.
Al-Qur’an
memang tidak menyebutkan secara khusus tentang perkosaan, akan tetapi lebih
menitik beratkan tentang zina, apakah dilakukan suka-sama suka oleh keduabelah
pihak atau karena memaksa seseorang untuk melakukan zina; Artinya jika ada
bukti bahwa kehamilan perempuan itu karena diperkosa, maka baginya tidak
dikenakan hadd zina. sementara yang dikenakan hukuman adalah terhadap pelaku
perkosaan, sama adakah si pemerkosa itu telah menikah atau belum. Oleh karena
itu Allah melarang perbuatan zina sebagaimna dituangkan dalam QS.17-Al-isra’:
32 “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu merupakan suatu
perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” .
A.
Tindak Pidana Perkosaan (Incest)
Perkosaan
merupakan suatu tindak pidana yang sangat meresahkan masyarakat, begitu orang
membaca atau mendengar berita-berita pemerkosaan timbul kecemasan, ketakutan
dan kekhawatiran terutama bagi mereka yang mempunyai anak perempuan, sehingga
orang berupaya menghindari tindak pidana ini. Walaupun sudah ada upaya untuk
menghindari tindak pidana ini, namun tindak pidana pemerkosaan masih terjadi
dalam kehidupan masyarakat
Mulyana W.
Kusuma sebagaimana dikutip Topo Santoso, dipaparkan berbagai mitos dan fakta
sekitar perkosaan sebagai berikut:
ü Dalam perspektif mitos:
·
Perkosaan merupakan tindakan implusif dan didorong oleh
nafsu birahi yang tidak terkontrol;
·
Korban diperkosa oleh orang asing (tidak dikenal korban),
orang sakit jiwa, yang mengintai dari kegelapan; Perkosaan hanya terjadi
diantara orang-orang miskin dan tak terpelajar;
·
Perempuan diperkosa karena berpenampilan yang mengundang
perkosaan (berpakain minim, berdandan menor, berpenampilan penggoda dan
sebagainya);
·
Perkosaan terjadi ditempat yang beresiko tinggi; di luar
rumah, sepi, gelap dan di malam hari;
·
Perempuan secara tersamar memang ingin diperkosa.
ü Sementara faktanya :
Perkosaaan
bukanlah nafsu birahi, tidak terjadi seketika. Ia merupakan kekerasan seksual
dan manifestasi kekuasaan yang ditujukan pelaku atas korbannya. Sebagian
perkosaan merupakan tindakan yang direncanakan;
Banyak
pelaku perkosaan adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Pada kenyataannya,
banyak perkosaan bisa menimpa siapa saja, tidak peduli cantik atau tidak; semua
umur, semua kelas sosial;
Perkosaan
tidak ada hubungannya dengan penampilan seseorang. Perkosaan dapat terjadi pada
anak-anak dibawah umur dan juga pada orang lanjut usia;
Hampir setengah dari jumlah perkosaan terjadi dirumah korban, disiang hari;
Hampir setengah dari jumlah perkosaan terjadi dirumah korban, disiang hari;
Korban
perkosaan tidak pernah merasa senang dan tidak mengharapakan perkosaaan. Trauma
perkosaan sulit hilang seumur hidup.
Mencermati
apa yang dipaparkan di atas maka dapat diketahui perkosaan kadang-kadang
terjadi semata-mata bersumber dari pelaku sendiri, yaitu karena didorong oleh
nafsu birahi yang tidak terkontrol, namun terkadang juga dipengaruhi oleh
penampilan korban yang menimbulkan nafsu pelaku. Dari sudut korban, perkosaan
tidak hanya terjadi pada orang dewasa, anak-anakpun menjadi korban tindak
pidana perkosan; dari sisi pelaku perkosaan dilakukan oleh pejabat maupun
penganggur, orang yang belum dikenal atau terkadang orang yang sangat dekat
hubungannya dengan korban, bahkan hubungan sedarah sekalipun (Incest).
Perkosaan
sudah mendapat legitimasi agar pelakunya diproses menurut hukum; Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana perkosaan dimuat dalam Bab XIV
buku II di bawah judul: Kejahatan terhadap Kesusilaan. Kejahatan kesusilaan ini
terdiri dari berbagai jenis tindak pidana; Pengaturannya mulai dari Pasal
281-303 dan Bab VI buku II Pasal 532- 544.
Tindak
pidana ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
·
Perbuatan yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan di
muka umum, yang berhubungan dengan benda-benda yang melanggar kesusilaan (bersifat
porno: Pasal 281-283)
·
Perzinahan, perkosaaan, yang berhubungan dengan perbuatan
cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
·
Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal
297)
·
Berkaitan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan
(Pasal 299);
·
Yang berhubungan dengan minuman yang memabukkan (Pasal 300)
·
Menyerahkan anak untuk mengemis dan lain-lain (Pasal 301);
·
Penganiayaan terhadap hewan (Pasal 302);
·
Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis);
Pasal-pasal
yang berkaitan dengan pelanggaran yaitu:
·
Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat
porno (Pasal 532-535)
·
Berkaitan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539)
·
Yang berkaitan dengan tindak pidana susila terhadap hewan
(Pasal 540, 541, 544);
Khusus
mengenai tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidan penjara paling lama 12 tahun” (penjara).
B.
Faktor Penyebab Incest
Pada
dasarnya seseorang manusia merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang
memerlukan pertemuan biologis atau sosial, setiap kelompok itu adalah normatif,
artinya, terpaut didalamnya tumbuh norma-norma dari rtingkah laku sesuai dengan
keadaan yang terbentuk dari aktivitas khusus dari kelompok, dengan demikian
menurut A Lacassagne teori lingkunganlah yang memberikan kesempatan sebagai
penyebab timbulnya suatu kejahatan.
Bonger menekankan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah kemiskinan dan kesengsaraan; Artinya menurut Bonger pengaruh keadaan terhadap jiwa manusia, kesengsaraan membuat fikiran menjadi tumpul, kebodohan dan ketidak biadaban merupakan penganut-penganutnya; Faktor ini merupakan yang berkuasa atas timbulnya kejahatan khususnya incest. Kenekatan pelaku melakukan perbuatan incest ini merupakan suatu kebodohan yang nyata. terlebih lagi tanpa ditopang oleh pengetahuan dan keyakinan ajaran agama yang dimiliki.
Bonger menekankan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah kemiskinan dan kesengsaraan; Artinya menurut Bonger pengaruh keadaan terhadap jiwa manusia, kesengsaraan membuat fikiran menjadi tumpul, kebodohan dan ketidak biadaban merupakan penganut-penganutnya; Faktor ini merupakan yang berkuasa atas timbulnya kejahatan khususnya incest. Kenekatan pelaku melakukan perbuatan incest ini merupakan suatu kebodohan yang nyata. terlebih lagi tanpa ditopang oleh pengetahuan dan keyakinan ajaran agama yang dimiliki.
Socrates
mengungkapkan bahwa: manusia masih melakukan kejahatan karena pengetahuan
tentang kebijakan tidak nyata baginya; karenanya pendidikan yang dilaksanakan
di rumah dan di sekolah memegang peranan yang sangat penting dalam mebentuk
keperibadian seseorang, dan pendidikan yang jelek atau kegagalan di sekolah
lalu dikembangkan di rumah akan mengakibatkan timbulnya suatu kejahatan, dan
oleh Van Hamel ditambhkan lagi dengan keadaan lingkungan yang mendorong
seseorang melakukan kejahatan, meliputi keadaan alam (geografis, dan
klimatologis), keadaan ekonomi dan tingkat keberadaban.
Berpijak dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor lingkungan dipengaruhi sub faktor didalamnya, yang selalu memainkan peranan penting, yaitu keadaan sosial dan budaya yang tercipta pada interen keluarga maupun sekitar tempat tinggal (marginal), termasuk juga kemajuan teknologi baru seperti pengaruh tontonan yang merangsang dan kebiasaan yang tidak membatasi aurat pria dan wanita, lantaran beranggapan terdapat hubungan darah yang amat dekat (sekeluarga), sementara tanpa disengaja lama-lama menjadi sebuah kebiasaan (ketagihan) untuk terus melakukan seksual incest, karena dianggap perbuatan incest tersebut dipandang cukup aman dilakukan dan tidak ada perlawanan yang berarti, sebab si anak karena kepatuhan dan mengingat bakti orang tua kepadanya, merasa enggan dan bungkam untuk membeberkan keburukan keluaraga sendiri
Berpijak dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor lingkungan dipengaruhi sub faktor didalamnya, yang selalu memainkan peranan penting, yaitu keadaan sosial dan budaya yang tercipta pada interen keluarga maupun sekitar tempat tinggal (marginal), termasuk juga kemajuan teknologi baru seperti pengaruh tontonan yang merangsang dan kebiasaan yang tidak membatasi aurat pria dan wanita, lantaran beranggapan terdapat hubungan darah yang amat dekat (sekeluarga), sementara tanpa disengaja lama-lama menjadi sebuah kebiasaan (ketagihan) untuk terus melakukan seksual incest, karena dianggap perbuatan incest tersebut dipandang cukup aman dilakukan dan tidak ada perlawanan yang berarti, sebab si anak karena kepatuhan dan mengingat bakti orang tua kepadanya, merasa enggan dan bungkam untuk membeberkan keburukan keluaraga sendiri
C.
Dampak Korban Perkosaan
Perkosaan
dapat menimbulkan penderitaan bagi korban; Secara umum penderitaan korban
sebagaimana dikutip Topo Santoso sebagai berikut:
·
Dampak secara fisik adalah: sakit asma, menderita migrain,
sulit tidur, sakit ketika berhubungan seksual, luka pada bibir (lesion on
lipcaused by scratch), luka pada alat kelamin, kesulitan buang air besar, luka
pada dagu, infeksi pada alat kelamin, kemungkinan tidak dapat melahirkan anak,
penyakit kelamin, infeksi pada pinggul dan lain-lain.
·
Dampak secara mental adalah: sangat takut sendirian, takut
pada orang lain, nervous, sering terkejut, sangat kuatir, sangat hati-hati
dengan orang asing, sulit mempercayai seseorang, tidak percaya lagi pada pria,
takut akan seks, merasa orang lain tidak menyukainya, dingin secara emosional,
sulit berhadapan dengan publik dan teman-teman, membenci apa saja, mengisolasi
diri, ketakutan, mimpi-mimpi buruk, merasa dunia tidak seindah yang diduga.
·
Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial: ditinggalkan
teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami memburuk, tidak menyukai
seks, tidak bisa jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara
dengan pria, sulit mempercayai atau sungguh-sungguh mencintai, menghindari
setiap pria, benci terhadap si-pelaku.
Reni Akbar
Hawadi, seorang psikolog mengaskan bahwa tidak jarang wanita korban perkosaan
terutama yang masih gadis, terguncang jiwanya. Guncangan jiwa inilah yang
menjadikan korban perkosaan terkadang takut, cemas, gelisah, mudah marah, malu,
merasa diri tidak normal, menangis bila teringat peristiwa tersebut dan
cenderung menutup diri.
Soerjono
Soekanto menegaskan bahwa korban Incest
melahirkan derita yang tidak sederhana; Tekanan kekecewaan, konflik dan
kekhawatiran yang tidak teratasi, menimbulkan gejala neurosis: seperti rasa
takut yang berlebihan, panik, putus asa, perilaku tidak terkendali, kecapaiaan
psikis dan psichosis, seperti tidak mengacuhkan lingkungan sekitar, selalu
dibayang-bayangi oleh hal-hal yang seolah-olah mengancam dirinya, timbul rasa
depresi yang kuat
Berdasarkan
apa yang dikemukakan di atas maka seorang wanita yang menjadi korban perkosaan
sangat menderita dalam kehidupannya, baik penderitaan fisik, mental dan sosial.
Artinya, bukan hanya saja korban secara langsung, tetapi juga orangtua atau
keluarga intinya juga mengalami dampak psikologis yang luar biasa; Dampak
terhadap wanita korban perkosaan ini seperti: berubah prilakunya, kurang ceria,
kadang-kadang menangis, mengurung diri di kamar, malu bertemu dengan sesama,
tidak mau belanja ke pasar, kemungkinan terjadi kehamilan atau tertular
penyakit kelamin; Dampak lain sebagai akses dari perkosaan, ada yang ditunda
sekolahnya, bahkan ada yang berhenti tidak sekolah lagi.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
umum dapat disimpulkan bahwa korban perkosaan sedarah (Incest) merupakan korban
kejahatan yang cukup mencemaskan; Penderitaan yang dialami korban dapat
dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu penderitaan fisik, penderitaan mental
dan penderitaan pribadi maupun sosial; Penderitaan fisik atau penderitaan materiel
yang dialami korban, yaitu terdapat luka-luka fisik, baik luka robek pada
vagina korban maupun luka lecet atau luka memar pada bagian tubuh lainnya
(akibat pemaksaan).
Penderitaan psikologis yaitu rasa
takut, rasa malu, rasa berdosa, merasa tidak memiliki harga diri lagi merasa
cemas atau kuatir terhadap masa depannya; Penderitaan pribadi dan sosial
berdampak bukan hanya pada diri korban, tetapi menyangkut keluarga besar
(keluarga inti) dalam kehidupannya: ditinggalkan teman dekat, merasa
dikhianati, hubungan dengan suami maupun sedarah memburuk, tidak menyukai seks,
tidak bisa jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara dengan
pria, sulit mempercayai atau sungguh-sungguh mencintai, menghindari setiap
pria, benci terhadap si-pelaku meskipun sedarah dengan korban.
Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara khusus tentang perkosaan, akantetapi lebih menitik beratkan tentang zina, apakah dilakukan suka-sama suka oleh keduabelah pihak atau karena memaksa seseorang untuk melakukan zina (memperkosa); Artinya jika ada bukti bahwa kehamilan perempuan itu karena diperkosa, maka baginya tidak dikenakan hadd zina. sementara yang dikenakan hukuman adalah terhadap pelaku perkosaan, sama adakah si pemerkosa itu telah menikah atau belum.
Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara khusus tentang perkosaan, akantetapi lebih menitik beratkan tentang zina, apakah dilakukan suka-sama suka oleh keduabelah pihak atau karena memaksa seseorang untuk melakukan zina (memperkosa); Artinya jika ada bukti bahwa kehamilan perempuan itu karena diperkosa, maka baginya tidak dikenakan hadd zina. sementara yang dikenakan hukuman adalah terhadap pelaku perkosaan, sama adakah si pemerkosa itu telah menikah atau belum.
B.
Saran
Pada makalah ini penulis menyarankan untuk semua yang membaca makalah ini terutama untuk mahasiswa
kesehatan senantiasa lebih berhati-hati
dalam membawa diri karena yang bisa menjaga diri kita adalah diri kita sendiri.
Dan hendaknya kita mampu meberikan pendidikan kesehatan untuk semua masyarakat
di sekitar kita dengan kasus Trauma Center karena Pemerkosaan.
GAMBAR ILUSTRASI PEMERKOSAAN
ILUSTRASI PEMERKOSAAN
|
ILUSTRASI PEMERKOSAAN
|
DAMPAK PEMERKOSAAN
|
ILUSTRASI PEMERKOSAAN
|
DAFTAR
PUSTAKA
Darma Weda, Made, Kriminologi, Cet.I. Raja Grafindo, Jakarta, 1996
Dep. Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990
Djirosisworo, Soedjono, Ruang Lingkup Kriminologi, Armico, Bandung, 1985.
Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan (Suatu Kumpulan Karangan). Cet II, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993
Hawari. Dadang. 1991. Perlindungan Korban Perkosaan. Solo
Dep. Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990
Djirosisworo, Soedjono, Ruang Lingkup Kriminologi, Armico, Bandung, 1985.
Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan (Suatu Kumpulan Karangan). Cet II, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993
Hawari. Dadang. 1991. Perlindungan Korban Perkosaan. Solo
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar