Senin, 16 Desember 2013

Trauma Center tentang Pemerkosaan (share)



BAB I
PENDAHULUAN

                Kejahatan merupakan gejala sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak  zaman dahulu sampai sekarang; Perkembangan kejahatan yang terjadi melalui informasi berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, atau apabila kita membaca statistik kriminal dapat ditemukan adanya peningkatan angka kejahatan dalam masyarakat; Peningkatan angka kejahatan ini tidak hanya terjadi pada peningkatan jumlah atau kuantitas kejahatan, melainkan juga terjadi peningkatan pada modus operandi atau teknik dan taktik dalam melakukan kejahatan.
              Terjadinya berbagai jenis kejahatan di tengah masyarakat mengindikasikan, bahwa korban demi korban terus berjatuhan dengan kerugian dan penderitan yang sangat besar; Kerugian yang timbul sebagai akibat kejahatan, dapat terjadi dalam berbagai bentuk; Sahetapy mengemukakan kerugian-kerugian akibat suatu kejahatan sebagai berikut:
Kerugian yang diderita oleh korban kejahatan bukan hanya dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyembuhkan luka fisik, tetapi juga kerugian nonfisik yang susah bahkan tidak dapat dinilai dengan uang. Hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup, dan kepercayaan diri karena kecemasan dan ketakutan dari bayang-bayang kejahatan yang selalu terbayang menghantui, adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bias timbul.
Menurut Reksodiputro, penderita dan kerugian korban kejahatan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
a) kerugian yang bersifat materiel (dapat diperhitungkan dengan uang)
b) kerugian yang bersifat immateriel misalnya perasaan takut, sedih, kejutan psikis dan lain-lain.
            Bentuk-bentuk kerugian dan penderitaan korban ini dikemukakan juga oleh Muladi dan Arief, sebagai berikut :
Ternyata esensi kerugian tidak hanya bersifat materiel atau penderitaan fisik saja, melainkan juga bersifat psikologis; Hal ini dalam bentuk trauma, kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum; Sintom dan Sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga, sinisme, depresi,kesepian dan berbagai perilaku penghindaran yang lain.
            Dari  pendapat-pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat diperoleh gambaran betapa besar penderitaan yang dialami seseorang atau kelompok orang yang menjadi korban kekerasan seksual karena selain penderitaan fisik, mereka juga mengalami penderitaan psikis yang sangat berat.
            Secara umum terjadinya kejahatan sangat merugikan masyarakat, khususnya korban kejahatan;  salah satu jenis kejahatan yang terjadi yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat, ialah: tindak pidana perkosaan, lebih teragis lagi bila perkosaan itu dilakukan dikalangan keluarga sendiri (sebut saja: kekerasan seksual/ perkosaan sedarah/ Incest).
            Incest adalah hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait hubungan darah.
Barda Nawawi, mengemukakan bahwa incest adalah persetubuhan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau samping sampai derajat ketiga.
Margaret Mead yang dikutip majallah Intisari (1992: 60) memaparkan incest “sebagai pelanggaran atas perbuatan seksual yang terlarang antara dua anggota keluarga inti, kecuali hubungan seksual suami isteri” seperti: hubungan seksual yang dilakukan antara Bapak dan anak, sesama saudara kandung, atau juga yang dilakukan oleh ibu dengan anaknya. Dampaknya dapat ditebak, bagaimana traumatisnya baik terhadap si pelaku maupun si korban, sehingga pelaku incest cenderung memilih bungkam daripada aibnya diketahui oleh public
            Singgih Wijaya sebagaimana dikutip Inti Sari (1992:167) menegaskan bahwa tindakan incest dapat dibedakan kepada beberapa kategori:
1)      Praktek Pedophilic Incest; yaitu dilakukan seorang ayah yang tidak matang siko seksualnya atau mengalami kesulitan seksual; Untuk memenuhi fungsi seksualnya ia  berhubungan dengan anak gadisnya;
2)      Psycopathic incest adalah perilaku incest yang dilakukan seorang penderita sakit jiwa (psycopat) yang menganggap kebanyakan orang, termasuk anaknya sendiri sebagai objek seksual. Karenanya, pelaku incest semacam ini hampir tidak pernah menunjukan rasa bersalah atas perbuatannya, bahkan cenderung nekat, tak segan melakukan perkosaan terhadap orang lain yang bukan penghuni rumahnya; Seperti sepupuan atau terdapat hubungan saudara lainnya;
3)      Family generated incest; seorang ayah yang fasif sementara sang isteri terganggu keperibadiannya; akibatnya, kehidupan perkawinan bagi mereka hambar dan anak-anak menjadi sasaran seksual; Si anak dijadikan semacam gundik ayahnya sendiri.
Tindakan incest bukanlah masalah perempuan semata, tapi problema yang harus dihadapi oleh seluruh masyarakat; Sedangkan dampak terjadinya incest ini terhadap si korban, selain memojokan kedudukan korban, juga si-korban menjadi rendah diri, pemalu, traumatis, bahkan beban penderitaan korban tidak akan sirna untuk selamanya, sehingga tidak menutup kemungkinan beban yang tidak dapat dipikul itu menyebabkan korban bunuh diri atau gila.
            Tindakan pemerkosaan dilakukan secara sadis dan tidak berprikemanusiaan. Mereka melakukan ancaman, perkosaan dan lainnya; Kerugian yang diderita korban berupa fisik atau matriel sebagaimana dialami korban kejahatan umumnya, dan nonfisik yaitu hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup, trauma, rasa malu terhadap lingkungan karena perkosaan sangat berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.
            Dampak yang sangat berat terhadap korban perkosaan ini, apabila terjadi perkosaan kadang-kadang muncul berbagai reaksi dari masyarakat; Salah satu reaksi masyarakat dapat dilihat pada apa yang dikemukakan oleh Topo Santoso, yang dikutip dari media massa saat terjadi perkosaan pada keluarga Acan di Bekasi, yang menunjukan kemarahan masyarakat misalnya: “Pemerkosa itu biadab, mereka seperti PKI, hukum mati saja, mereka harus di hukum seberat-beratnya”
Selain reaksi masyarakat, Menteri Negara urusan peranan wanita pada kabinet pembangunan VI mengusulkan agar pelaku perkosaan dihukum dengan hukuman berat, ditayangkan wajahnya di Televisi dengan tujuan menimbulkan rasa malu bagi pelaku agar jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya, atau untuk mencegah pelaku potensial agar tidak melakukan perkosaan, bahkan sampai saat ini reaksi terhadap perkosaan masih terus diserukan oleh masyarakat.
Perkosaan seringkali mendapat reaksi keras dari masyarakat, namun tindak pidana ini semakin terjadi, jika peristiwa ini terjadi pada seorang gadis, remaja atau anak-anak, terlebih lagi bila terjadi terhadap keluarga sedarah (incest); seolah-olah peristiwa ini menghancurkan masa depan korban, karena pada umumnya masyarakat Indonesia masih mengagungkan nilai kegadisan, hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama; Dari segi agama perkawinan dianggap sesuatu yang suci, sehingga korban perkosaan dianggap telah ternoda sebelum memasuki perkawina suci. Lebih dari itu, jangankan melakukan perkosaan, bahkan zina (suka sama suka pun) dilarang dalam agama (Islam).






BAB II
PERMASALAHAN

            Korban kejahatan merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dibahas, selama ini para ahli hukum pidana lebih banyak membahas kejahatan dalam kaitannya dengan pelaku, sedangkan korban kejahatan kurang mendapat perhatian, mereka seolah-olah dilupakan, padahal korban kejahatan termasuk korban perkosaan merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari pelaku kejahatan, karena dalam kasus perkosaan pasti ada korban yang sangat menderita baik fisik maupun psikis. Dalam penyelesaian tindak pidana (perkosaan) yang terjadi, korbanpun mempunyai peran yang sangat penting, yaitu dihadirkan sebagai saksi, tanpa peran korban kejahatan, peristiwa itu mungkin tidak bisa diperoses karena minimnya alat bukti, namun kadang-kadang dalam peroses peradilan, korban sering mangalami kekecewaan.
Berbicara mengenai hukum positif terutama hukum acara pidana, telah diatur berbagai macam ketentuan yang memberikan perlindungan bagi tindak pidana, yaitu diatur tentang hak-hak tersangka dan terdakwa, hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan, bahkan berhak untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dari negara. Jika tersangka atau terdakwa mendapat perlakuan hukum yang bertentangan dengan hak-haknya, mereka dapat menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi nama baiknya melalui gugatan praperadilan, sedangkan korban yang sangat menderita baik fisik maupun psikis, masih merupakan persoalan yang kurang mendapat perhatian.













BAB III
TEORI KORBAN PERKOSAAN

Teori merupakan salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam suatu penulisan ilmiah, karena teori yang digunakan dalam penulisan, dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan yang diteliti secara sistematis; Permasalahan dalam tulisan ini berkaitan dengan perlindungan hukum bagi korban, khususnya korban perkosaaan sedarah, penyebab terjadinya kekerasan seksual incest dan dampaknya terhadap korban serta bagaimana bila dilihat dari kacamata agama (Islam).

            Kaitan dengan perlindungan hukum bagi korban perkosaan sedarah, sebagai pisau analisis untuk membahas permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini, dapat dikemukakan beberapa teori
:

1.      Teori Kontrol Social

Mulai mengemukakan mengenai teori kontrol sebagai dasar perlindungan bagi warga negara:
Untuk mengedepankan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi; Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban .
Makna dari kontrol sosial ini, bahwa negara harus melindungi dan memberikan rasa kedamaian dan kesejahteraan bagi warga negara; Perlindungan hukum bagi warga negara telah memiliki dasar konstitusional dalam hukum dasar, yaitu Undang-undang Dasar 1945; Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia ke IV ditegaskan bahwa . Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”; Tekad untuk melindungi warga negara ini diimplementasikan pada pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar 1945; Dalam Pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Lebih dari itu, perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia Internasional, yang menjadi Resolusi Majlis Umum PBB No.40/ 43 dalam Kongres VII PBB Tahun 1985 tanggal 29 November 1985 di Milan.  Orang yang mengalami penderitaan, maka ia termasuk orang yang dirugikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dimengerti, bahwa penyidikan dan penyusunan surat dakwaan yang berkualitas sangat bermanfaat bagi korban pemidanaan, oleh hakim merupakan hal penting bagi korban juga, sebab lewat pemidanaan korban dapat menuntut kerugian yang dialaminya; Selain itu pemidanaan dapat memulihkan keseimbangan yang terganggu karena secara umum terjadinya perkosaan menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan dalam masyarakat.

2.      Teori Penyebab Terjadinya Incest

Salah satu penyebab sumber terjadinya kejahatan (termasuk perkosaan sedarah) menurut Bonger: adalah kemiskinan dan kesengsaraan, artinya pengaruh keadaan terhadap jiwa manusia; kesengsaraan membuat fikiran menjadi tumpul, kebodohan dan ketidakberadaban. Karenanya Socrate menunjukan bahwa pendidikan yang dilaksnakan di rumah dan di sekolah memgang peranan yang sangat penting dalam membentuk keperibadian seseorang.
Tempat ibadah merupakan tempat yang suci yang mampu menghubungkan dan menenteramkan jiwa antara khalik dan makhluk, demikian juga tempat penggamblengan rohani marupakan sarana dan arena penerpaan jiwa yang mampu membendung dan menentramkan jiwa, oleh karena itu, minimnya pendidikan mental, kerohanian dan atau keagamaan dapat menjadi dasar penyebab terjadinya kejahatan Incest.

3.      Teori Tentang Korban (Victim)

Menurut deklarasi perinsip-perinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalah gunaan kekuasaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (1985) sebagaimana dikutif Arief Gosita, yang dimaksud dengan korban (victim) adalah “orang-orang yang secara pribadi atau kolektif telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaraan-pembiaraan (omissions) yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan”.


4.      Teori Hukum Islam

Hukum pidana Islam yang kerap kali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, hukum cambuk, hukuman mati umpamanya, seringkali hanya dilihat dari satu sisi saja, yaitu kemanusiaan menurut standar abad 20 yang dianggap paling beradab, tetapi tidak dilihat alasan, maksud, tujuan dan keefektifan hukuman tersebut.
Hukuman dalam Islam memiliki landasan yang kokoh yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, dan bukan berdasarkan dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang dirasa adil; Dari sisi kepastian hukum juga jelas karena manusia dilarang mengubah hukuman yang diancamkan, jadi untuk tindak pidana yang diberi ancaman hukuman hadd tidak boleh ada perobahan, perbuatan yang dilarang tetap menjadi sesuatu yang diharamkan sampai kapanpun.
Kasus zina umpamanya, ditegaskan bahwa hukuman mati bagi pelaku yang muhsan (terikat perkawinan) hanya dapat dilakukan setelah melalui proses pembuktian yang sangat ketat, sehingga dimasa Nabi dan Sahabatpun penjatuhan hukum ini dapat dihitung dengan jari. Jelasanya alat bukti berupa empat orang saksi yang langsung melihat perzinaan itu tidaklah mudah; Apalagi dalam hukum pidana Islam juga ada ancaman pidana 80 kali cambuk bagi penuduh zina yang tidak ada bukti.
Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara khusus tentang perkosaan, akan tetapi lebih menitik beratkan tentang zina, apakah dilakukan suka-sama suka oleh keduabelah pihak atau karena memaksa seseorang untuk melakukan zina; Artinya jika ada bukti bahwa kehamilan perempuan itu karena diperkosa, maka baginya tidak dikenakan hadd zina. sementara yang dikenakan hukuman adalah terhadap pelaku perkosaan, sama adakah si pemerkosa itu telah menikah atau belum. Oleh karena itu Allah melarang perbuatan zina sebagaimna dituangkan dalam QS.17-Al-isra’: 32 “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu merupakan suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” .








A.    Tindak Pidana Perkosaan (Incest)

Perkosaan merupakan suatu tindak pidana yang sangat meresahkan masyarakat, begitu orang membaca atau mendengar berita-berita pemerkosaan timbul kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran terutama bagi mereka yang mempunyai anak perempuan, sehingga orang berupaya menghindari tindak pidana ini. Walaupun sudah ada upaya untuk menghindari tindak pidana ini, namun tindak pidana pemerkosaan masih terjadi dalam kehidupan masyarakat
Mulyana W. Kusuma sebagaimana dikutip Topo Santoso, dipaparkan berbagai mitos dan fakta sekitar perkosaan sebagai berikut:
ü  Dalam perspektif mitos:
·         Perkosaan merupakan tindakan implusif dan didorong oleh nafsu birahi yang tidak   terkontrol;
·         Korban diperkosa oleh orang asing (tidak dikenal korban), orang sakit jiwa, yang mengintai dari kegelapan; Perkosaan hanya terjadi diantara orang-orang miskin dan tak terpelajar;
·         Perempuan diperkosa karena berpenampilan yang mengundang perkosaan (berpakain minim, berdandan menor, berpenampilan penggoda dan sebagainya);
·         Perkosaan terjadi ditempat yang beresiko tinggi; di luar rumah, sepi, gelap dan di malam hari;
·         Perempuan secara tersamar memang ingin diperkosa.

ü  Sementara faktanya :
Perkosaaan bukanlah nafsu birahi, tidak terjadi seketika. Ia merupakan kekerasan seksual dan manifestasi kekuasaan yang ditujukan pelaku atas korbannya. Sebagian perkosaan merupakan tindakan yang direncanakan;
Banyak pelaku perkosaan adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Pada kenyataannya, banyak perkosaan bisa menimpa siapa saja, tidak peduli cantik atau tidak; semua umur, semua kelas sosial;
Perkosaan tidak ada hubungannya dengan penampilan seseorang. Perkosaan dapat terjadi pada anak-anak dibawah umur dan juga pada orang lanjut usia;
Hampir setengah dari jumlah perkosaan terjadi dirumah korban, disiang hari;
Korban perkosaan tidak pernah merasa senang dan tidak mengharapakan perkosaaan. Trauma perkosaan sulit hilang seumur hidup.
Mencermati apa yang dipaparkan di atas maka dapat diketahui perkosaan kadang-kadang terjadi semata-mata bersumber dari pelaku sendiri, yaitu karena didorong oleh nafsu birahi yang tidak terkontrol, namun terkadang juga dipengaruhi oleh penampilan korban yang menimbulkan nafsu pelaku. Dari sudut korban, perkosaan tidak hanya terjadi pada orang dewasa, anak-anakpun menjadi korban tindak pidana perkosan; dari sisi pelaku perkosaan dilakukan oleh pejabat maupun penganggur, orang yang belum dikenal atau terkadang orang yang sangat dekat hubungannya dengan korban, bahkan hubungan sedarah sekalipun (Incest).
Perkosaan sudah mendapat legitimasi agar pelakunya diproses menurut hukum; Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana perkosaan dimuat dalam Bab XIV buku II di bawah judul: Kejahatan terhadap Kesusilaan. Kejahatan kesusilaan ini terdiri dari berbagai jenis tindak pidana; Pengaturannya mulai dari Pasal 281-303 dan Bab VI buku II Pasal 532- 544.
Tindak pidana ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
·         Perbuatan yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan di muka umum, yang berhubungan dengan benda-benda yang melanggar kesusilaan (bersifat porno: Pasal 281-283)
·         Perzinahan, perkosaaan, yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
·         Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297)
·         Berkaitan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan (Pasal 299);
·         Yang berhubungan dengan minuman yang memabukkan (Pasal 300)
·         Menyerahkan anak untuk mengemis dan lain-lain (Pasal 301);
·         Penganiayaan terhadap hewan (Pasal 302);
·         Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis);

Pasal-pasal yang berkaitan dengan pelanggaran yaitu:
·         Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535)
·         Berkaitan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539)
·         Yang berkaitan dengan tindak pidana susila terhadap hewan (Pasal 540, 541, 544);

Khusus mengenai tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP sebagai berikut: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidan penjara paling lama 12 tahun” (penjara).

B.     Faktor Penyebab Incest

Pada dasarnya seseorang manusia merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang memerlukan pertemuan biologis atau sosial, setiap kelompok itu adalah normatif, artinya, terpaut didalamnya tumbuh norma-norma dari rtingkah laku sesuai dengan keadaan yang terbentuk dari aktivitas khusus dari kelompok, dengan demikian menurut A Lacassagne teori lingkunganlah yang memberikan kesempatan sebagai penyebab timbulnya suatu kejahatan.
            Bonger menekankan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah kemiskinan dan kesengsaraan; Artinya menurut Bonger pengaruh keadaan terhadap jiwa manusia, kesengsaraan membuat fikiran menjadi tumpul, kebodohan dan ketidak biadaban merupakan penganut-penganutnya; Faktor ini merupakan yang berkuasa atas timbulnya kejahatan khususnya incest. Kenekatan pelaku melakukan perbuatan incest ini merupakan suatu kebodohan yang nyata. terlebih lagi tanpa ditopang oleh pengetahuan dan keyakinan ajaran agama yang dimiliki
.
Socrates mengungkapkan bahwa: manusia masih melakukan kejahatan karena pengetahuan tentang kebijakan tidak nyata baginya; karenanya pendidikan yang dilaksanakan di rumah dan di sekolah memegang peranan yang sangat penting dalam mebentuk keperibadian seseorang, dan pendidikan yang jelek atau kegagalan di sekolah lalu dikembangkan di rumah akan mengakibatkan timbulnya suatu kejahatan, dan oleh Van Hamel ditambhkan lagi dengan keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan kejahatan, meliputi keadaan alam (geografis, dan klimatologis), keadaan ekonomi dan tingkat keberadaban.
            Berpijak dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor lingkungan dipengaruhi sub faktor didalamnya, yang selalu memainkan peranan penting, yaitu keadaan sosial dan budaya yang tercipta pada interen keluarga maupun sekitar tempat tinggal (marginal), termasuk juga kemajuan teknologi baru seperti pengaruh tontonan yang merangsang dan kebiasaan yang tidak membatasi aurat pria dan wanita, lantaran beranggapan terdapat hubungan darah yang amat dekat (sekeluarga), sementara tanpa disengaja lama-lama menjadi sebuah kebiasaan (ketagihan) untuk terus melakukan seksual incest, karena dianggap perbuatan incest tersebut dipandang cukup aman dilakukan dan tidak ada perlawanan yang berarti, sebab si anak karena kepatuhan dan mengingat bakti orang tua kepadanya, merasa enggan dan bungkam untuk membeberkan keburukan keluaraga sendiri

C.    Dampak Korban Perkosaan

Perkosaan dapat menimbulkan penderitaan bagi korban; Secara umum penderitaan korban sebagaimana dikutip Topo Santoso sebagai berikut:
·         Dampak secara fisik adalah: sakit asma, menderita migrain, sulit tidur, sakit ketika berhubungan seksual, luka pada bibir (lesion on lipcaused by scratch), luka pada alat kelamin, kesulitan buang air besar, luka pada dagu, infeksi pada alat kelamin, kemungkinan tidak dapat melahirkan anak, penyakit kelamin, infeksi pada pinggul dan lain-lain.
·         Dampak secara mental adalah: sangat takut sendirian, takut pada orang lain, nervous, sering terkejut, sangat kuatir, sangat hati-hati dengan orang asing, sulit mempercayai seseorang, tidak percaya lagi pada pria, takut akan seks, merasa orang lain tidak menyukainya, dingin secara emosional, sulit berhadapan dengan publik dan teman-teman, membenci apa saja, mengisolasi diri, ketakutan, mimpi-mimpi buruk, merasa dunia tidak seindah yang diduga.
·         Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial: ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami memburuk, tidak menyukai seks, tidak bisa jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara dengan pria, sulit mempercayai atau sungguh-sungguh mencintai, menghindari setiap pria, benci terhadap si-pelaku.

Reni Akbar Hawadi, seorang psikolog mengaskan bahwa tidak jarang wanita korban perkosaan terutama yang masih gadis, terguncang jiwanya. Guncangan jiwa inilah yang menjadikan korban perkosaan terkadang takut, cemas, gelisah, mudah marah, malu, merasa diri tidak normal, menangis bila teringat peristiwa tersebut dan cenderung menutup diri.
Soerjono Soekanto  menegaskan bahwa korban Incest melahirkan derita yang tidak sederhana; Tekanan kekecewaan, konflik dan kekhawatiran yang tidak teratasi, menimbulkan gejala neurosis: seperti rasa takut yang berlebihan, panik, putus asa, perilaku tidak terkendali, kecapaiaan psikis dan psichosis, seperti tidak mengacuhkan lingkungan sekitar, selalu dibayang-bayangi oleh hal-hal yang seolah-olah mengancam dirinya, timbul rasa depresi yang kuat
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas maka seorang wanita yang menjadi korban perkosaan sangat menderita dalam kehidupannya, baik penderitaan fisik, mental dan sosial. Artinya, bukan hanya saja korban secara langsung, tetapi juga orangtua atau keluarga intinya juga mengalami dampak psikologis yang luar biasa; Dampak terhadap wanita korban perkosaan ini seperti: berubah prilakunya, kurang ceria, kadang-kadang menangis, mengurung diri di kamar, malu bertemu dengan sesama, tidak mau belanja ke pasar, kemungkinan terjadi kehamilan atau tertular penyakit kelamin; Dampak lain sebagai akses dari perkosaan, ada yang ditunda sekolahnya, bahkan ada yang berhenti tidak sekolah lagi.























BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Secara umum dapat disimpulkan bahwa korban perkosaan sedarah (Incest) merupakan korban kejahatan yang cukup mencemaskan; Penderitaan yang dialami korban dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu penderitaan fisik, penderitaan mental dan penderitaan pribadi maupun sosial; Penderitaan fisik atau penderitaan materiel yang dialami korban, yaitu terdapat luka-luka fisik, baik luka robek pada vagina korban maupun luka lecet atau luka memar pada bagian tubuh lainnya (akibat pemaksaan).
Penderitaan psikologis yaitu rasa takut, rasa malu, rasa berdosa, merasa tidak memiliki harga diri lagi merasa cemas atau kuatir terhadap masa depannya; Penderitaan pribadi dan sosial berdampak bukan hanya pada diri korban, tetapi menyangkut keluarga besar (keluarga inti) dalam kehidupannya: ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami maupun sedarah memburuk, tidak menyukai seks, tidak bisa jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara dengan pria, sulit mempercayai atau sungguh-sungguh mencintai, menghindari setiap pria, benci terhadap si-pelaku meskipun sedarah dengan korban.
            Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara khusus tentang perkosaan, akantetapi lebih menitik beratkan tentang zina, apakah dilakukan suka-sama suka oleh keduabelah pihak atau karena memaksa seseorang untuk melakukan zina (memperkosa); Artinya jika ada bukti bahwa kehamilan perempuan itu karena diperkosa, maka baginya tidak dikenakan hadd zina. sementara yang dikenakan hukuman adalah terhadap pelaku perkosaan, sama adakah si pemerkosa itu telah menikah atau belum.

B.     Saran

Pada makalah ini penulis menyarankan untuk semua yang membaca makalah ini terutama untuk mahasiswa kesehatan senantiasa lebih berhati-hati dalam membawa diri karena yang bisa menjaga diri kita adalah diri kita sendiri. Dan hendaknya kita mampu meberikan pendidikan kesehatan untuk semua masyarakat di sekitar kita dengan kasus Trauma Center karena Pemerkosaan.


GAMBAR ILUSTRASI PEMERKOSAAN

                
ILUSTRASI PEMERKOSAAN
ILUSTRASI PEMERKOSAAN
 





                
DAMPAK PEMERKOSAAN
ILUSTRASI PEMERKOSAAN
 






DAFTAR PUSTAKA


Darma Weda, Made, Kriminologi, Cet.I. Raja Grafindo, Jakarta, 1996

Dep. Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002

Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990

Djirosisworo, Soedjono, Ruang Lingkup Kriminologi, Armico, Bandung, 1985.

Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996

Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan (Suatu Kumpulan Karangan). Cet II, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993

Hawari. Dadang. 1991. Perlindungan Korban Perkosaan. Solo


Sumber :















Tidak ada komentar:

Posting Komentar